Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 07 Juli 2014

Kemandirian Energi dalam Mata Rantai Global (A Prasetyantoko)

Debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden putaran terakhir mengambil tema pangan, energi, dan lingkungan. Terkait isu energi, ada beberapa perkembangan terkini yang relevan.

Pertama, pemerintah berhasil merenegosiasi penjualan gas Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, ke Fujian, Tiongkok. Kedua, pada saat bersamaan, terhitung 1 Juli 2014, PT Pertamina mulai mengimpor gas dari Cheniere Energy di Texas, Amerika Serikat, sebanyak 0,76 juta ton liquefied natural gas (LNG) setiap tahun selama 20 tahun guna menutup kebutuhan dalam negeri. Sebuah kebetulan yang paradoksal.

Paradoks pertama, sementara di dalam negeri kebutuhan gas terus meningkat, kita justru menjual gas dengan harga murah. Kedua, meski berhasil merenegosiasi gas Tangguh, harganya masih jauh di bawah harga pasar.

China National Offshore Oil Corporation sebagai pembeli telah menyepakati harga baru sebesar 8,65 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Dengan catatan, harga minyak mentah di pasar Jepang sebagai patokan sebesar 110 dollar AS per barrel.

Awalnya, perjanjian jual beli dipatok sangat rendah, yakni 2,7 dollar AS per MMBTU selama 25 tahun, saat harga minyak dunia 38 dollar AS per barrel. Meski terjadi kenaikan, harganya masih jauh di bawah harga pasar saat ini sekitar 13 dollar AS per MMBTU.

Persoalan gas Tangguh bukanlah satu-satunya. Hari-hari ini, pemerintah tengah direpotkan dengan gugatan PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional terkait larangan ekspor mineral. Renegosiasi PT Freeport Indonesia (FI) juga belum tuntas meski nota kesepakatan dengan pemerintah sudah ditandatangani.

Kontrak karya PT FI berakhir pada 2021. Berdasarkan peraturan pemerintah, pembahasan perpanjangan kontrak akan dilakukan pada 2019 dengan berbagai persyaratan.

Persyaratan itu antara lain janji membangun pabrik pemurnian (smelter) mineral emas di Gresik, Jawa Timur, senilai 2,3 miliar dollar AS. Selain itu, juga kenaikan royalti dari 1 persen menjadi 3,75 persen setelah perpanjangan kontrak dan divestasi 30 persen saham kepada pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan BUMD. Meski ada perbaikan, esensinya tidak tercapai, yaitu meningkatkan kepemilikan pihak domestik hingga 51 persen saham.

Beberapa fakta tersebut menunjukkan betapa rumitnya merenegosiasi kontrak karya dengan pihak asing di bidang energi. Harus diakui persoalannya memang kompleks. Secara umum, kita tak punya cukup kemampuan, baik secara finansial maupun teknologi, untuk melakukan eksplorasi minyak dan gas. Karena itu, dalam arti tertentu, keterlibatan pihak asing merupakan keniscayaan.

Dalam kasus gas Tangguh, karakteristik industrinya memang unik, misalnya eksplorasi tak bisa dilakukan sebelum ada komitmen pembeli. Konsekuensinya, posisi tawar kita sangat lemah sehingga harus rela dipatok harga rendah. Ke depan, harus ada kebijakan sistematis untuk meningkatkan kapasitas industri nasional untuk ambil bagian dalam proses eksplorasi. Sudah saatnya perusahaan kita terlibat dalam pasokan mata rantai global bidang energi.

Renegosiasi tanpa diimbangi dengan peningkatan kapasitas domestik hanya akan menempatkan kita pada posisi lemah terhadap pihak asing. Selain itu, infrastruktur juga harus dibenahi secara masif.

Pertama, ketersediaan listrik agar perusahaan asing dan domestik terdorong melakukan pemurnian di dalam negeri. Kedua, ketersediaan jaringan distribusi agar pasokan dalam negeri lebih terjamin. Alasan Pertamina mengimpor gas bukan semata-mata karena tak tersedia pasokan di dalam negeri, melainkan juga karena harganya lebih mahal sebagai akibat dari buruknya jaringan distribusi gas.

Selain kerumitan dalam negeri, terutama terkait ketersediaan energi dan infrastruktur, kemandirian energi juga terkendala kompleksnya mata rantai energi global. Selain Jepang, Tiongkok dan India juga sangat bergantung pada sumber energi dari Indonesia, terutama batubara dan minyak sawit. Karena itu, mereka tak terlalu suka kita mengembangkan industri pengolahan mineral dan komoditas primer. Mereka lebih suka mengimpor bahan mentah karena harganya jauh lebih murah.

Pada 2009, dua lembaga investasi asing, Morgan Stanley dan CLSA, merilis laporan yang menggambarkan betapa eratnya mata rantai produksi Indonesia, Tiongkok, dan India, terutama melalui pasar energi, sehingga pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India mendongkrak pertumbuhan ekonomi kita. Puncak kinerja pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen pada 2011 terjadi saat harga komoditas sedang tinggi. Setelah itu, pertumbuhan kita mengempis seiring jatuhnya harga komoditas energi dunia dan koreksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India.

Hampir semua negara besar menempatkan isu energi sebagai bagian dari diplomasi internasional. Rusia paling mencolok dalam hal ini karena menempatkan isu energi sebagai bagian dari kebijakan luar negeri dalam rangka mencapai posisi strategis (international prestige) melalui cara nontradisional dan nontransparan.

Rusia menyadari posisinya sebagai negara dengan cadangan gas alam terbesar di dunia, kedua terbesar dalam batubara, dan ketujuh terbesar dalam hal minyak bumi. Meski banyak perusahaan asing beroperasi, seperti British Petroleum dan Chevron, peran Pemerintah Rusia sangat dominan. Ke depan, Rusia akan secara agresif menguasai pasar energi global, dan Indonesia bisa jadi target potensial yang akan digarap.

Realitas ini menjadi catatan penting bagi siapa pun yang akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Perbaikan infrastruktur dan kelembagaan domestik harus diarahkan dalam rangka memperbaiki daya tawar kita dalam mata rantai global di bidang energi. Jika tidak, kita hanya akan terjerembap dalam kubangan yang sama meski terjadi pergantian kepemimpinan dan pergeseran mitra asing.

Perlu disadari, ketidakmampuan kita menyediakan kebutuhan energi domestik akan melemahkan stabilitas makroekonomi kita karena dua hal. Pertama, besaran subsidi energi yang terus menanjak seiring kenaikan harga, depresiasi, dan konsumsi domestik. Kedua, besaran impor energi yang akan melemahkan neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Peningkatan defisit anggaran dan transaksi berjalan menjadi sinyal buruk bagi arus investasi (portofolio) asing. Jadi, posisi kita dalam mata rantai energi global menjadi salah satu kunci kita dalam percaturan ekonomi-politik dunia.

A Prasetyantoko Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007652093
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger