Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 22 Juli 2014

TAJUK RENCANA: Barat dan Rusia Pasca MH17 (Kompas)

SEMENTARA keluarga korban penumpang jet Malaysia Airlines MH17 masih menangisi kepergian orang-orang yang mereka kasihi, Barat dan Rusia terlibat dalam prospek ketegangan baru.
Dalam berita yang kita baca kemarin, Presiden Rusia Vladimir Putin mengucapkan belasungkawa kepada keluarga korban. Namun, ia menegaskan, terkait terjadinya musibah MH17, Pemerintah Ukraina-lah yang bertanggung jawab karena gagal menegakkan perdamaian di provinsi- provinsi timurnya.

Menyangkut dugaan bahwa Moskwa yang memasok persenjataan canggih kepada separatis Ukraina, pemerintahan Presiden Putin juga menyangkalnya. Namun, bagi negara-negara Barat, bukti semakin terang bahwa senjata yang diduga digunakan untuk menembak jatuh MH17 adalah rudal Buk pasokan Rusia.

Tidak kurang Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry hari Minggu lalu mengatakan, bukti mengindikasikan bahwa rudal Rusia-lah yang digunakan untuk menembak jatuh MH17. Sementara Inggris menyebutkan, Moskwa bisa menghadapi status "paria" dan ancaman sanksi ekonomi lebih jauh (JP, 21/7).

Tampaknya, insiden penembakan pesawat MH17 akan memperburuk hubungan negara-negara Barat dengan Rusia. Ini karena Barat memiliki keyakinan bahwa separatis Ukraina meningkatkan perlawanan berkat dukungan personel dan persenjataan dari Rusia.

Menlu AS, sebagaimana diberitakan oleh kantor-kantor berita, menyebutkan bahwa AS melihat iring-iringan 150 kendaraan lapis baja, tank, dan peluncur roket yang dikirimkan kepada separatis. AS juga menyergap percakapan telepon tentang transfer rudal SA-11 Gadfly kepada separatis.

Dewan Keamanan PBB dikabarkan juga mempertimbangkan rancangan resolusi untuk mengecam penembakan pesawat Malaysia, menyerukan kelompok bersenjata di wilayah Ukraina timur untuk membuka akses ke lokasi jatuhnya pesawat, dan menyerukan semua negara di kawasan untuk bekerja sama dalam penyelidikan internasional.

Di luar upaya di forum resmi, beredar juga opini tentang Rusia dan pemimpinnya, Vladimir Putin, yang disorot tajam. Tajuk Rencana The Wall Street Journal, Senin (21/7), misalnya, menulis, Putin ingin menjadi tsar dan ambisinya adalah mengacaukan status quo setelah Perang Dingin guna memulihkan kejayaan Rusia dan menjadi aktor dominan di kawasan Eurasia.

Kondisi tidak normal yang melibatkan kuasa-kuasa besar pada gilirannya juga akan menimbulkan pengaruh kepada negara-negara lain. Berikutnya pula, ketegangan politik akan berimbas pada bidang perekonomian. Ini kiranya yang perlu diwaspadai.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007968764
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger