Ibarat cacing kepanasan di atas bara api, demokratisasi kita menggelinjang-gelinjang. Pemilu Legislatif 2014 berlangsung lancar dan aman, tampaknya pasca Pemilu Presiden 2014 berlangsung serupa. Prediksi itu meleset. Pasca 9 Juli menyimpan pekerjaan rumah yang, kalau tidak ditangani secara bijak, tepat, dan cepat, membawa kehidupan bernegara dan berbangsa kita melangkah mundur ke era sebelum reformasi.
Perasaan kecemasan menghadapi pasca 22 Juli tidak hanya karena faktor perkembangan supercepat teknologi informasi dan adanya dua pasang calon, tetapi terutama oleh obsesi meraih kemenangan berlebihan.
Obsesi ini berdampak pada potensi menghalalkan segala cara, mulai dari politik uang, kampanye hitam, hingga otak-otik sebelum dan sesudah pemungutan suara, termasuk penggunaan lembaga survei sekaligus kepanjangan tangan konsultan politik. Sementara dalam hal obsesi berlebihan, tak ada ruang untuk kekalahan.
Pembangunan bangsa dan negara kita terus mengalami penyegaran. Karena itu dibenarkan adanya berbagai uji coba, bahkan amandemen undang-undang. Meskipun demikian, ketika hal mendasar seperti aksi menghalalkan cara dilakukan, kondisi itu tidak sebagai bagian dari etika dan fatsun politik dalam upaya nation and character builiding.
Cara-cara itu perlu dicegah, tidak ketika mulai berbunga, tetapi mencegah sebelum sempat berkuncup. Memberikan dukungan moral kepada lembaga yang in charge secara legal, mengajak seluruh komponen masyarakat termasuk TNI/Polri yang netral secara legal mengamankan bersama potensi terjadinya kerusuhan, adalah keniscayaan yang inheren dengan demokratisasi yang kita kembangkan.
Lembaga seperti KPU/Bawaslu, instansi terkait langsung dengan urusan Pileg dan Pilpres 2014, kita dukung keputusannya yang terbebas dari rasa takut, keterpaksaan, dan ancaman. Tidak bisa ditinggalkan peran pemerintah petahana yang secara yuridis dalam deskripsi tugasnya bertanggung jawab pada pileg dan pilpres.
Kita kawal bersama rekapitulasi suara Pilpres 2014 yang mulai hari ini memasuki tahap di tingkat provinsi. Kita tunjukkan belajar berdemokrasi pasca reformasi memang penuh jatuh bangun. Kita cegah terjadinya berbagai aksi yang berpotensi menyulut kerusuhan. Kita potong kebiasaan buruk agar Pileg dan Pilpres 2014 tidak terjadi seperti hampir semua pilkada yang berakhir dengan rusuh dan kasasi ke Mahkamah Konstitusi.
Kita kembalikan marwah pileg dan pilpres sebagai manifestasi demokratisasi. Mari kita duduk tenang, hati bening-jernih, dan menerima hasil pilres yang diumumkan KPU dengan lapang dada. Menyelamatkan RI pasca 22 Juli tidak berlaku deus ex machina, tuhan dari mesin, tetapi kita sendiri yang harus membereskan masalahnya.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007903210
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar