Pemerintah AS menganjurkan untuk memperketat pengecekan terhadap penumpang pesawat terbang dengan tujuan ke AS dan barang bawaan mereka. Anjuran itu dikeluarkan, Rabu (2/7), menyusul peringatan Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Jeh Johnson tentang adanya bahan peledak jenis baru yang dapat diselundupkan ke dalam pesawat tanpa terdeteksi.
Anjuran itu diikuti oleh Perancis dan Inggris. Itu sebabnya, baik AS, Perancis, maupun Inggris meminta para penumpang bersedia memberikan waktu tambahan bagi aparat keamanan untuk memeriksa mereka dan barang bawaan mereka, khususnya peralatan elektronik seperti laptop dan telepon genggam, serta alas kaki.
Meminta penumpang untuk bersedia memberikan waktu tambahan itu adalah permintaan yang simpatik dari otoritas Perancis dan Inggris. Sebab, pemeriksaan yang lebih ketat, yang tentu akan membuat waktu pemeriksaan bertambah lama, sesungguhnya dilakukan demi keselamatan para penumpang itu sendiri.
Langkah kehati-hatian itu menjadi semakin penting karena adanya ancaman peledakan bom di bandara internasional Entebe, Kampala, Uganda, Kamis lalu. Ancaman bom itu tidak terbukti, tetapi itu tidak mengurangi kehati-hatian kita terhadap adanya kemungkinan bom diselundupkan ke dalam pesawat terbang.
Penumpang pesawat terbang yang jumlahnya berkisar 200-300 orang sangat rentan terhadap ledakan bom. Saat bom yang diselundupkan ke dalam pesawat terbang meledak, sulit membayangkan adanya penumpang yang selamat. Apalagi jika bom meledak di ketinggian 30.000 kaki (sekitar 10.000 meter).
Itu sebabnya, sulit bagi kita untuk menerima apabila ada yang menentang pemeriksaan yang ketat di bandara. Memang AS tidak merinci kelompok teroris mana yang berniat melakukan serangan, tetapi itu tidak boleh mengurangi kewaspadaan aparat yang melakukan pengecekan terhadap penumpang dan bawaannya di bandara.
Kita tentu belum lupa, pesawat maskapai penerbangan Malaysia, Malaysia Airlines, yang hilang dalam penerbangan dari Kuala Lumpur, Malaysia, menuju Beijing, Tiongkok, 8 Maret lalu. Pesawat Boeing 777-200ER dengan nomor penerbangan MH370 yang membawa 239 orang, 12 kru Malaysia dan 227 penumpang dari 14 negara, hingga kini belum diketahui keberadaannya.
Kehati-hatian sangat penting dalam bisnis penerbangan. Pengalaman menunjukkan bahwa pesawat terbang tidak hanya rentan terhadap ledakan bom, tetapi juga dapat digunakan sebagai mesin pembunuh, seperti tragedi di AS 11 September 2001.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007711351
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:
Posting Komentar