Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 14 Agustus 2014

Hidup Lebih (Radhar Panca Dahana)

APA yang antara lain mencemaskan seorang kepala rumah tangga ketika bersama keluarga, anak dan istri, begitu keluar dari daerah permukimannya dan masuk ke jalan raya? Tak lain realitas paling mencolok dan hampir jadi identitas di hampir semua jalan raya Indonesia: deretan toko dan iklan!
Apa yang salah dengan realitas "modern" itu? Tidak ada. Semua itu kita terima sebagai kewajaran, bahkan alamiah. Yang "salah" mungkin adalah manusia yang lalu lalang di realitas itu, termasuk anak dan istri kepala rumah tangga tadi. Semua toko dan iklan itu seperti parade tawaran, rayuan, bahkan isapan kenikmatan dunia yang sepanjang jalan tidak letih membetot nafsu memiliki dan hasrat membelinya.

Segala tawaran toko dan iklan yang memenuhi hidup kita tidak hanya di jalan raya, tetapi juga di semua saluran televisi, halaman koran, majalah, brosur-brosur, hingga saluran virtual di berbagai gadget yang melekat dengan keseharian kita. Hampir tidak ada lagi sisa detik yang kosong untuk kita merenung atau mengendapkan semua tawaran itu, hingga tiba-tiba ia telah menjadi "kebutuhan" yang seakan urgent untuk segera dipenuhi.

Sudah cukup kita memiliki dua—bahkan mungkin tiga atau empat—pasang sepatu, kita merasa perlu membeli yang baru karena modelnya yang terpajang di etalase atau brosur begitu menariknya. Segera ia jadi kebutuhan. Ia pun berlaku pada busana, yang dahulu hanya setiap lebaran kita beli, kini bahkan ketika satu lemari pakaian sudah penuh, tiap bulan bahkan minggu kita masih butuh membeli busana dengan desain terbaru. Juga peralatan rumah tangga, kendaraan, gadget, restoran baru, atau tempat wisata yang berbeda; semua produk luxuries yang sebenarnya hanya menambah satu-dua fitur atau memiliki lekukan bentuk yang sedikit berbeda dibandingkan dengan milik kita yang lama.

Industri modern bekerja keras hingga begitu sukses—menggunakan capaian teknologi media, informasi dan telekomunikasi—menciptakan kebutuhan demi kebutuhan yang sebenarnya bukanlah atau belum jadi kebutuhan. Namun, perilaku ini, tabiat bahkan cara berpikir tentang butuh yang terus tumbuh ini, kini telah menjadi wajar bahkan "alamiah". Sebuah pergeseran mental dan tradisi semata disebabkan oleh satu adab yang berbasis pada budaya hidup "lebih".

Adab timbun dan perang
Budaya hidup "lebih" ini adalah satu cara memandang dan melakoni hidup dengan sebuah nilai dasar di mana kita merasa berhak memperoleh atau berusaha mendapat lebih dari apa yang telah kita miliki. Untuk itu, kita (seolah) wajib berjuang keras, berkompetisi, bahkan jika perlu menggunakan semua cara, antara lain dengan menyikut atau menghabisi para pesaing kita. Nilai itu kemudian secara normatif dianggap landasan dari "hak" yang individual, yang asasi. Sebuah nilai yang jadi turunan dari cara berpikir rasional, materialistik dan positivistik, cara berpikir yang kontinental-oksidental.

Cara berpikir ini secara imperatif meminta siapa pun (manusia) untuk selalu progresif, dengan orientasi positif yang berarti ke depan, pada kemajuan, pada pertumbuhan atau pada pembangunan. Sebuah negara secara imperatif dituntut mencatat pertumbuhan setiap tahunnya, setiap usaha/bisnis harus membukukan pertambahan profit setiap tahunnya, hidup manusia pun diukur dari pertambahan fasilitas hidup yang dimilikinya.

Apa yang semula jadi nilai, kemudian berkembang menjadi norma(tif) dan akhirnya jadi moralitas yang menjadi standar kebaikan dan kebenaran, menjadi hak asasi: siapa pun wajib dan berhak (berusaha) memiliki lebih. Lebih makmur, lebih terkenal, lebih cantik, lebih dihormati, lebih kuasa, lebih pintar, lebih tinggi, lebih cepat, dan seterusnya.

Adab yang kemudian tumbuh global ini berbasis pada tradisi menimbun (stock) dari kebudayaan daratan/kontinental. Tradisi yang tumbuh dalam kondisi geografis khas dengan iklim keras dengan suhu dingin dan panas ekstrem berjangka panjang sehingga manusia/masyarakat membutuhkan semacam simpanan (makanan, energi, dll) untuk jaminan mereka dapat melalui masa keras di atas.

Simpanan inilah yang kemudian menciptakan tradisi menimbun dalam jumlah yang di kemudian hari tidak hanya untuk melalui satu iklim tertentu, tetapi juga masa atau tahun-tahun berikutnya. Belakangan ia bernama investasi dan bentuknya berubah sesuai dengan zaman: dari lumbung makanan, hingga lumbung emas, saham atau harta virtual yang bahkan hingga 12 turunan tidak habis.

Tradisi inilah yang jadi landasan perilaku manusia yang selalu kompetitif (bahkan dengan cara apa pun), berorientasi keras pada kemenangan, penaklukan dan pendudukan (kolonialisme dan imperialisme) untuk target mendapat lebih dan lebih, menimbun kekayaan dan kejayaan. Maka, "kelebihan" kemudian jadi ukuran kesuksesan, kuasa, privilese, atau derajat seorang manusia atau satu bangsa.

Dengan etos inilah, Revolusi Industri di Inggris mendapat momentum percepatan perkembangannya hingga ia mendunia. Menciptakan dunia yang tidak habis-habisnya bersaing—dalam semua level dan dimensi kehidupan—bahkan terjun dalam konflik atau perang yang menahun hanya untuk garansi tidak terganggunya kelebihan-kelebihan atau stok harta yang ia miliki. Bahkan, jika perlu menganeksasi sumber daya negeri lain untuk menambah kelebihan/timbunannya sendiri.

Budaya bahari
Pada bagian dunia lain berkembang satu peradaban lain yang jadi anak kandung kembar Homo sapiens: adab yang berbasis pada realitas geografis dengan air sebagai elemen penting atau utamanya. Inilah adab yang muncul di kepulauan, di dunia bahari atau maritim, seperti Jepang, Yunani, Inggris, negara-negara Skandinavia dan terutama—yang terbesar di antara itu—Nusantara alias Indonesia.

Peradaban bahari ini bangkit dari kebudayaan dengan karakteristik yang cair, mengalir, dan membiarkan semua berlangsung sesuai dengan hukum-hukum alamnya. Pantha rhei, kata Heraclitus, seorang filsuf Yunani. Tak ada desakan atau kebutuhan menimbun dalam budaya ini karena alamnya—terutama di Indonesia—menyediakan seluruh kebutuhan di semua iklim yang memang tidak keras, tidak terlalu dingin tidak terlalu panas.

Alam teranugerahi dengan begitu permainya sehingga masyarakat bahari Nusantara mendapatkan semua kebutuhan untuk tidak hanya survive, tetapi juga untuk ekspresi dan aktualisasi diri, hingga ritual-ritual spiritualnya. Semua terintegrasi dalam hidup praksis mereka sehari-hari. Tidak mengherankan jika ada interpretasi dari sekalangan peneliti yang mengatakan bayangan (mitologis) tentang firdaus atau surga sebenarnya adalah imajinasi para pelaut/pengelana bangsa kontinental tentang negeri ini.

Di surga dunia ini manusia jadi bagian organik dari alam sekitarnya. Interdependensi tercipta saat manusia dengan kesadarannya memberi respek pada semua yang ada di lingkungannya untuk bertahan hidup dan berkembang bersama. Berbeda dengan adab stok yang menimbun harta dengan mengeksploitasi habis- habisan sumber daya sekelilingnya, hampir tanpa peduli kepada tetangga bahkan generasi berikutnya, masyarakat bahari memiliki kedekatan hingga di tingkat batin dan spiritual dengan semua benda/makhluk serta fenomena yang menyertainya.

Karena itu, yang menjadi ukuran adalah keseimbangan, harmoni, dan imperasi kultural pada siapa pun untuk memberikan kontribusi pada kemaslahatan umum. Harga diri, martabat, dan kuasa seseorang diukur dari seberapa jauh karya atau produk kulturalnya memberi manfaat kepada publik. Insan-komunal atau homo socius adalah fitrah dan keniscayaan di adab ini.

Akan tetapi, itu dulu, lebih sebelum 2.000 tahun lalu, ribuan tahun sebelum bangsa-bangsa Eropa lahir. Jauh sebelum suku bangsa nomaden Arya-India datang ke kawasan archipelagic ini di awal Masehi dan menanamkan kultur kontinental awal berupa kerajaan-kerajaan konsentris/pedalaman di seluruh Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara.

Dari situlah, akibat kolonialisme daratan berikutnya—dari bangsa Portugis, hingga Amerika Serikat, Jepang, dan Korea belakangan—negeri ini seperti menambal atau menyelimuti realitas primordialnya dengan busana kultural baru yang notabene kontinental. Tragik-tragik kebudayaan pun terjadi berkesinambungan, hingga realitas yang cukup acak (khaotik) kita rasakan pada landasan nilai, norma, dan moralitas di masa belakangan ini.

Apa yang kemudian sangat menarik adalah datangnya Islam, sebagai agama kontinental yang ternyata memiliki pendekatan bahari yang cukup kuat dan intens (bahwa Islam adalah sebuah agama daratan dengan kultur maritim yang kuat membutuhkan satu penjelasan/tulisan tersendiri). Agama ini begitu mengejutkan (siapa pun pengamat dan peneliti asing) karena hanya dalam jangka 200 tahun mampu diterima begitu masifnya oleh mayoritas penduduk di kepulauan ini.

Tidak lain karena agama ini menggunakan modus kultur bahari dalam syiar atau penyebaran ajaran-ajarannya: mengadopsi atau beradaptasi dengan realitas kultural lokal dimulai dari masyarakat-masyarakat pesisir di jelujuran ribuan pulau tersebut. Ia diterima dalam kewajaran alamiah, bahkan dianggap mendukung/membantu proses pembudayaan masyarakat lokal, termasuk pembentukan jati diri (adab) mereka yang baru.

Di dalam ajaran inilah peradaban stok secara mengejutkan mendapat antitesisnya dengan sebuah tradisi melatih diri untuk tidak hanya mengontrol nafsu "lebih"-nya, tetapi bahkan melatih diri untuk hidup "kurang". Seperti tradisi puasa—Ramadhan lalu, misalnya—yang meminta seluruh umat Islam untuk mengurangi kecukupan makannya sehari-hari, mengurangi minum, tidur, bicara, mendengar, berhubungan seksual, dan sebagainya.

Pemimpin zuhud
Nilai dan norma dalam ajaran tradisi yang kemudian berosmosa dengan adat lokal ini mengajari kita manusia bahari untuk tidak serakah, melawan greediness dari kehidupan adab modern (kontinental) saat ini. Kita akan mengambil secukupnya dari apa yang disediakan alam, bahkan banyak adat Islam-bahari kita yang mewajibkan setiap pengguna sumber daya alam untuk menghidupkan SDA lain sebagai substitusinya. Maka, potensi alam dan manusia pun sama terjaga. Manusia dan alam saling mengambil dan memberi. Ada pertukaran energi positif yang saling menjaga kelanggengan hidup, peran, dan fungsi mutualistik di antara keduanya.

Bagi yang "telanjur" mendapat kelebihan, ada semacam moralitas yang mendesak orang "lebih" (kaya) itu untuk mengembalikan kelebihan atau kekayaannya kepada masyarakat. Maka, solidaritas atau gotong royong pun menjadi keniscayaan si adab ini. Inilah dasar dari ikatan primordial bangsa bahari, antara lain, yang kehidupan bersamanya sulit diruntuhkan. Ia hidup begitu kuat dalam praksis rakyat (kecil), lebih dari para elite atau penguasanya yang karena (pengaruh) politik dan ekonomi (kolonial) justru lebih rapuh dan rentan. Belakangan, karena politik-ekonomi postmodern, mereka (elite) menggunakan rakyat kecil–istilahnya, konstituen—untuk ikut menjadi rapuh dan rentan, dengan manipulasi rakyat untuk juga bertempur membela nafsu "lebih" para penguasa/pemimpinnya.

Maka, bila seorang pemimpin—terlebih dalam kontestasi politik postmodern belakangan ini—tidak memahami fitrah atau nature dari rakyat atau bangsanya ini, sesungguhnya ia bukan hanya tidak pantas menjadi pemimpin. Ia juga telah mengkhianati kultur dan adab yang telah memberinya kelahiran dan kematangan jati diri budayanya, mengkhianati sejarah dan bangsanya sendiri.

Pemimpin sesungguhnya dalam adab bahari adalah manusia yang memiliki empati kuat kepada rakyatnya yang paling kecil, yang memiliki kemampuan paling kurang, bahkan invalid secara politik, ekonomi, intelektual, atau kultural. Maka, pemimpin ini tidak akan meminta, mengambil, bahkan menggunakan (fasilitas) lebih yang sebenarnya ada dan menjadi hak mereka. Hidup secara prihatin, tirakat, dan zuhud.

Saya sangat mafhum, semua prinsip dan praksis hidup maritim dan kepemimpinan di atas adalah antitesis atau seperti "melawan" apa yang jadi arus utama hidup mutakhir di seantero negeri. Namun, itulah alternatif yang dapat diukur untuk memberi perbaikan dan kebaikan bangsa yang kian karut-marut ini. Hanya keteguhan dan keberanian (mempertahankan keteguhan itu) dapat menjamin evolusi mental bangsa kita. Dan, saya meyakini, ia akan berhasil karena satu faktor saja mendukungnya: rakyat!

Radhar Panca Dahana
Budayawan

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008216820
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger