Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 15 Agustus 2014

TAJUK RENCANA: Peringatan Krisis Ekonomi Global (Kompas)

PERINGATAN bakal datangnya krisis ekonomi lanjutan—pasca krisis 2008—kembali dilontarkan sejumlah ekonom dan ahli terkemuka dunia.
Termasuk di antara mereka Raghuram Rajan, Robert Shiller, William White, dan penerima Nobel Ekonomi, Nouriel Roubini, yang secara akurat memprediksikan datangnya krisis global 2008. Seperti 2008, biang kerok krisis kali ini terutama adalah Amerika Serikat.

Kebijakan moneter super-longgar AS dituding telah menciptakan gelembung baru aset di pasar finansial. Benarkah dunia kembali di ambang krisis ekonomi baru?

Sebelumnya, Bank for International Settlements juga sudah mengingatkan bahaya kebijakan moneter longgar yang dijalankan dalam waktu berkepanjangan, yang tak dibarengi perbaikan perekonomian riil. Pembuat kebijakan juga dinilai terlalu bergantung pada kebijakan moneter longgar dan minim melakukan reformasi struktural dalam upaya memulihkan perekonomian.

Kondisi ini menuntun ke situasi berbahaya: melonjak dengan cepatnya harga aset di negara maju sehingga tercipta gelembung baru yang berbahaya jika sampai meletus dan memicu krisis baru seperti 2008. Bahaya lain bersumber dari risiko ketidakseimbangan finansial, yang sejak krisis 2008 belum sepenuhnya teratasi. Indikasinya: rasio utang terhadap pendapatan tetap tinggi.

Ada kekhawatiran besar, normalisasi kebijakan moneter terlambat atau tak cukup cepat ditempuh. Sebelumnya banyak kalangan mencemaskan tak adanya tanda-tanda segera diakhirinya stimulus fiskal masif lewat pencetakan uang dan moneter longgar di AS, dengan ditempuhnya program Quantitative Easing (QE) agresif oleh Fed.

Kebijakan itu telah menimbulkan distorsi karena perekonomian dan pasar jadi begitu bergantung pada QE dan suku bunga yang secara artifisial dibuat sedemikian rendah, sehingga akan sangat berat untuk membalikkan kebijakan ini tanpa efek samping berupa resesi atau gejolak finansial.

Rupanya tak semua sependapat dengan Roubini dkk. Bank Dunia dan IMF sendiri lebih banyak mengingatkan tantangan mendesak dicapainya target kebijakan moneter tradisional seperti inflasi dan pengangguran. Para ekonom lain mengaku tak melihat bukti signifikan dan meluas adanya ketidakwajaran harga aset di perekonomian-perekonomian besar. Pertumbuhan kredit juga masih lemah.

Pemulihan ekonomi global tak secepat diperkirakan, tetapi mulai menunjukkan tanda akselerasi signifikan. Di negara maju, sektor korporasi kembali menggeliat. Gelembung baru sektor perumahan juga bukan fenomena umum, tak seperti 2008. Pasar perumahan di AS jauh dari over-valued. Risiko finansial mungkin meningkat, tetapi tidak pada tingkat berbahaya dalam jangka pendek.

Krisis lanjutan global, lambat atau cepat, akan berimbas juga ke Indonesia, langsung ataupun tak langsung. Jangan sampai kita tak siap dan terguncang oleh kemungkinan perubahan arah kebijakan mendadak negara maju, terutama AS. Pengalaman selama ini, kita selalu gagal memanfaatkan momentum. Akibatnya, kita terkena dampak negatifnya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008330451
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger