Meski secara statistik jumlah korban meninggal menurun dibandingkan dengan Lebaran 2013 (sebanyak 575 orang), banyaknya korban yang meninggal setiap Lebaran tetap patut disayangkan. Bahkan, harian ini Minggu, 3 Agustus, membandingkan jumlah korban arus mudik dan balik Lebaran 2014 melebihi korban tsunami di Kepulauan Mentawai pada 2010. Deskripsi itu tentunya untuk menambah efek dramatis dari korban mudik Lebaran.
Kita angkat kembali masalah korban mudik Lebaran guna mengentak kesadaran kita bahwa di balik angka statistik itu adalah nyawa manusia. Dan, di balik nyawa manusia itu terdapat suami atau istri, ayah atau ibu, anak, atau famili yang ditinggalkan oleh mereka yang telah menjadi korban saat akan mudik Lebaran.
Kita memberikan apresiasi kepada anggota Polri, Kementerian Perhubungan, ormas, dan pihak lain yang ikut mengatur arus Lebaran. Mereka rela tak liburan saat Lebaran. Kendati demikian, besarnya korban meninggal pada saat Lebaran mengundang kritik. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yenny Sucipto menegaskan, meski korban kecelakaan lalu lintas lebih disebabkan faktor kelalaian manusia, pemerintah tetap mempunyai tanggung jawab. Kita sependapat, meski terus memperbaiki, pemerintah belum sepenuhnya bisa menjamin ketersediaan fasilitas publik, transportasi, dan infrastruktur secara memadai.
Ketidaksiapan infrastruktur, termasuk kerusakan jembatan Comal, membuat waktu tempuh mudik dan balik Lebaran makin panjang. Perjalanan Jakarta-Yogyakarta, yang dalam kondisi normal ditempuh 12 jam, pada puncak mudik dan balik harus ditempuh lebih dari 24 jam. Bahkan, ada yang harus menempuh lebih dari 30 jam. Kemacetan panjang memicu kelelahan, dan kelelahan ikut memicu terjadinya kecelakaan.
Kritik harus digunakan untuk terus memperbaiki diri. Dalam setiap tantangan harus selalu ada respons. Sebagaimana dirasakan wartawan harian ini yang mengikuti mudik sepeda motor dengan kapal Pelni, Jakarta-Semarang ditempuh dalam 14 jam. Waktu tempuh itu bisa lebih cepat dibandingkan dengan transportasi jalan raya untuk rute yang sama pada puncak mudik. Bedanya, di jalur laut, kelelahan dan keselamatan lebih terjamin.
Sebagai negara maritim, transportasi laut harus jadi pertimbangan mengurangi beban jalur favorit pemudik di pantai utara Jawa. Kebiasaan mudik sebagai laku kultural melalui transportasi darat saatnya dilengkapi dengan jalur laut dengan memanfaatkan pelabuhan di utara Jawa atau optimalisasi penggunaan jalur ganda kereta api Jakarta-Surabaya. Inilah pekerjaan rumah pemerintahan baru. Pemerintahan baru harus bisa menjanjikan arus Lebaran 2015 lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008156780
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar