Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Agustus 2014

Tempat Kalla dalam ”Revolusi Jokowi” (Fachry Ali)

BAGAIMANA "Revolusi Jokowi" harus digambarkan?
Pada 11 Juli 2014, saya mendapat pesan pendek dari Kak Ruqayyah Ibrahim Na'im yang tinggal  di Banda Aceh: "Gimana kira-kira bayangan capresnya, Dik? Aku galau nih." Pada 17 Juli berikutnya, pertanyaan pesan pendeknya kian menjurus: "Adindaku! Bagaimana Jokowiku?" Ketika saya menjawab, "Terpilih, Kak", ia merespons: "Alhamdulillah. Allahu akbar!" Namun, ia kembali cemas, seperti terlihat pada pesan pendek 19 Juli: "Maaf adinda, seberapa pengaruh untuk JKW dengan pemilu ulang di Jakarta hari ini?" Pada 2 Agustus lalu, saya melihat tanda miscall darinya. Sambil mengucapkan selamat Lebaran, saya bertanya: "Ada apa?" Dia menjawab: "Tidak ada masalah. Cuma resah gelisah menunggu keputusan MK."

Fakta ini menarik karena "kegelisahan" itu bisa dikategorikan sebagai "politik emosi". Lawan dari "politik kalkulatif", "politik emosi" mengunggulkan keakraban dan rasa sepenanggungan daripada sekadar nalar dan kepentingan pribadi atau golongan. Seperti akan diurai di bawah, efek kinerja "politik emosi" inilah inti "Revolusi Jokowi".

Pemimpin pasca elite
Di tempat lain, saya menyebut Joko Widodo (Jokowi) sebagai "pemimpin pasca elite". Ini terjadi karena, menggunakan frasa sejarawan Taufik Abdullah, "kesewenangan sejarah" yang membuat Indonesia sejak awal berada di bawah kepemimpinan kaum elite. Walau punya cita-cita "sempurna" tentang bagaimana rakyat Indonesia harus dipimpin dan dimakmurkan, kaum elite "terperangkap" ke dalam dua aspek tak terhindarkan. Selain rumusan cita-cita mereka diambil dari pengalaman negara dan masyarakat maju, watak kepemimpinan mereka lebih dibentuk proses sosialisasi dan mobilitas vertikal di dalam lembaga-lembaga politik dan birokrasi yang terpisah dari pengalaman keseharian rakyat banyak.

Karena rumusan cita-cita elite itu terjemahan model negara maju, membangun commercial foundation menjadi tak terhindarkan. Dalam bukunya, The Commercial Society (2007), Samuel Gregg menyatakan bahwa fondasi itu adalah kebiasaan-kebiasaan, prosedur, dan kelembagaan tertentu yang tanpa semua itu sebuah masyarakat komersial tak mampu berkembang.

Maka, realisasi konkret cita-cita para pemimpin lapisan elite ini pada esensinya adalah membangun commercial foundation itu, yakni "pemindahan" sifat dan struktur kehidupan serta kelembagaan negara dan masyarakat maju ke Indonesia. Salah satu akibat nyata kecenderungan ini adalah terciptanya struktur kehidupan elite-biased, yaitu pemberlakuan kebijakan, infrastruktur, dan sarana artikulasi yang hanya cocok dan lebih menguntungkan lapisan masyarakat atas.

Yang "memilukan", dampaknya berbeda antara rakyat dan elite. Rakyat, tanpa tahu rangkaian sebab-akibat, terpukul. Melalui gabungan depresiasi rupiah, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan energi yang mendorong inflasi daya belinya turun. Sementara akibat suku bunga tinggi dan pemotongan belanja negara, ekspansi usaha terhenti hanya untuk mengabadikan pengangguran.

Bagi elite, di pihak lain, berlaku lukisan ekonom Joseph Stiglitz. Dalam karyanya, The Price of Inequality (2012), penerima hadiah Nobel bidang ekonomi ini melihat sistem ekonomi Amerika Serikat telah lebih menguntungkan kalangan puncak atas kerugian rakyat. Dan, ini terjadi di Indonesia dengan munculnya kalangan "super kaya". Laporan Kompas (18 Juni 2014) mendaftar kalangan ini dengan terperinci. Mereka yang memiliki kekayaan Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun sebanyak 344.000 orang, Rp 2,5 triliun-Rp 10 triliun sebanyak 208.000 orang, Rp 10 triliun-Rp 50 triliun sebanyak 64 orang, dan Rp 50 triliun ke atas 13 orang. Semua ini kontras dengan pendapatan petani Rp 1 juta per bulan dan upah minimum regional (UMR) Rp 2 juta per bulan.

Pembelahan tajam basis material "elite-rakyat" inilah latar belakang struktural "Revolusi Jokowi". Teralienasi dari proses akumulasi material, rakyat tak bisa berharap kepada politisi dan partai-partai politik. Sebab, pasca Orde Baru, dunia politik telah pula disesaki kekuatan modal. Semua ini, pada akhirnya, meneguhkan kesadaran keterpisahan dunia rakyat dan dunia elite.

Kehadiran Jokowi, dalam perspektif rakyat, adalah anti tesis kecenderungan elite ini. Ia menjadi wahana mengembangkan laku politik baru, "politik emosi", yang tidak saja menolak impersonalitas, tetapi juga mengedepankan persaudaraan dan pengorbanan. Melalui "politik emosi" ini, terjalin persaudaraan rakyat berdasarkan pola imagined community Benedict Anderson, mulai dari Kak Ruqayyah di Banda Aceh bersambung hingga Goenawan Sarosa di Solo, dan seluruh rakyat di seantero Indonesia untuk mengubah keadaan. Maka, arti "Revolusi Jokowi" bukan saja lahirnya "pemimpin pasca elite", melainkan munculnya kesadaran rakyat bahwa mereka mampu "memberontak" melawan kekuatan modal, tekanan alienasi material dan impersonalitas sosial-ekonomi dan politik produk elite, melalui prosedur demokrasi.

Akan tetapi, dukungan rakyat didasarkan "politik emosi" ini bukan tak berisiko. Betapa pun proses penyatuan "rakyat-Jokowi" ini bersifat "revolusioner" dan bersejarah, pemerintah barunya segera berhadapan dengan apa yang disebut Huntington sebagai rising expectation, yaitu harapan rakyat yang meningkat. Karena landasan politiknya hampir secara total bertumpu pada dukungan aneka kelompok rakyat bawah, dalam logika Jokowi niscaya menerima tuntutan perbaikan nasib ekonomi jauh lebih beragam dan rumit dibandingkan dengan pemerintah-pemerintah sebelumnya.

Secara teoretis, pemenuhan aneka tuntutan ini merupakan pekerjaan berat sebab Jokowi harus melakukannya di atas setting kemapanan sistem elite-biased. Sebuah sistem, telah disebut di atas, yang dicocokkan dengan selera dan kemampuan artikulasi kelas menengah ke atas dan, terutama, oligarki kapitalis "super kaya". Koreksi atasnya tak bisa secara tambal sulam dan membutuhkan waktu panjang.

Secara teknikal, satu-satunya alat Jokowi memenuhi aneka tuntutan itu adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, setidak-tidaknya sampai tahun pertama pemerintahannya, efektivitas APBN tidak bisa diandalkan.

Sampai di sini timbul pertanyaan bagaimana Jokowi harus merealisasikan nasionalisme ekonomi didasarkan kemandirian ekonomi jika faktor utama di atas tak mampu ditangani?

"Partner teknikal"
Pada sisi inilah kita melihat tempat Jusuf Kalla, sebagai wakil presiden terpilih, dalam "Revolusi Jokowi". Dalam catatan publik, sebagai wapres di kabinet SBY (2004-2009), Kalla sangat membantu presiden dalam kebijakan dan keputusan ekonomi.

Adalah Kalla yang jadi konseptor bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyat guna menutupi "kerugian" akibat keputusan pengurangan subsidi BBM di awal tugasnya sebagai wapres. Juga, adalah Kalla yang mendesak bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) membentuk dana konsorsium bagi pembangunan jalan tol lintas Jawa di tengah-tengah suasana rendahnya fungsi intermediasi perbankan. Bukankah kini Jokowi menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur? Dalam arti kata lain, jauh sebelum bergabung dengan Jokowi, Kalla terbukti telah melaksanakan "Jokowinomics" dengan tidak membiarkan mekanisme pasar berlaku di wilayah-wilayah yang peran sumber daya negara sangat dibutuhkan.

Ringkasnya, duet Jokowi-Kalla saling menguatkan. Sebagai wahana rakyat melawan kecenderungan elitisme, Jokowi menjadi simbol penyatuan "rakyat-pemerintah". Akan tetapi, langkah "revolusioner"-nya segera berhadapan dengan sistem elite-biased di atas mana oligarki kapitalis siap menghadang. Faktor-faktor teknikal kebijakan operasional "Jokowinomics" yang terhadang sistem itu berpotensi memaksa kesatuan "rakyat-Jokowi" bubar.

Dengan latar belakang pengusaha dan pengalaman menangani perekonomian nasional, Kalla punya kemampuan mengatasi problem teknikal kebijakan ekonomi dan, pada saat yang sama, "meladeni" kemungkinan intervensi oligarki kapitalis.

Ringkasnya, mengingat umur, Kalla bukanlah "pesaing" Jokowi lima tahun mendatang, melainkan partner teknikal yang menjaga rel "Revolusi Jokowi" tetap lurus melalui saran-saran bersifat operasional kebijakan ekonomi nasionalnya.

Fachry Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008216147
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger