Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 13 September 2014

Kebudayaan Bangsa (Conrad William Watson)

MEMBACA kontroversi belakangan ini ihwal kebudayaan, sebagai antropolog yang tahunan mengajar mengenai kebudayaan, saya tertarik.
Menyimak satu demi satu pendapat beberapa penulis, saya makin tetap pada pendirian bahwa semestinya dalam perdebatan mengenai kesenian, warisan, tradisi, adat, dan kebiasaan, sepatutnya kita mengelak memakai kata-kata budaya atau kebudayaan.

Di kalangan antropolog, kata culture (baca: kebudayaan) sudah lama dipersoalkan karena ternyata dapat dipakai dengan makna sangat berlainan oleh orang yang suka memakai kata itu. Antropolog AL Kroeber  dan Clyde Kluckhohn (1952) pernah menemui 164 makna yang berbeda-beda yang melengket pada kata ini. Uraian mendalam tentang bahaya menggunakan kata culture dapat dibaca di buku Mark J Smith, Social Science in Question (1998:260-271).

Salah satu dampak kepancaragaman makna dalam  pemakaian kata kebudayaan adalah bahwa orang selalu kesulitan dalam perdebatan tentang yang berkaitan dengan kebudayaan karena mereka tidak insaf bahwa makna yang dipakai lawan bicara berlainan dengan makna yang mereka sendiri pakai. Debat jadi simpang siur, tidak nyambung. Inilah yang sedang terjadi dalam kontroversi di Indonesia kini.

Lihat umpamanya sebutan kebudayaan dan watak bangsa. Menurut sebagian besar antropolog kontemporer,  ucapan kebudayaan bangsa, yang merujuk ke ciri khas atau pandangan dunia khusus, sebenarnya tidak ada dan merupakan satu ilusi, kekeliruan dalam cara berpikir; lihat buku Jean-FranÇois Bayart, The Illusion of Cultural Identity (2005 passim). Karena itu,  kata antropolog, jangan kita beranggapan bahwa ada yang boleh disebut sebagai British culture. British way-of-life pun tak ada. Tempo hari di Inggris, ketika Perdana Menteri David Cameron dan mantan Menteri Pendidikan Michael Gove berusaha menyatakan ada British way-of-life yang terdiri dari sikap toleransi, kebersediaan mendengar pendapat orang lain, sistem politik yang demokratis, bertingkah laku adil dan taat pada hukum, mereka diperolok semua kalangan: apa ciri-ciri ini hanya terdapat pada masyarakat Inggris; apa bangsa lain tak menyanjung tinggi nilai-nilai luhur ini?

Demikian kalau kita sependapat bahwa nilai-nilai yang kita anut bukan hakikat atau hak milik satu bangsa saja, muatan kata kebudayaan yang kita pakai sehari-hari sebenarnya apa? Tidak mungkin kata itu kosong. Memang tak kosong, tetapi untuk mengetahui artinya, kita harus merujuk ke sejarah, terutama kalau kita berpegang pada kepercayaan bahwa kebudayaan kita merupakan warisan dari leluhur.

Dalam hal ini pasti kita bermaksud apa yang disebut pihak UNESCO, intellectual heritage, ciptaan manusia dan masyarakat pada satu zaman yang terus turun-temurun sampai sekarang. UNESCO sendiri memakai contoh seperti kesenian, sastra lisan, kearifan lokal, tari-tarian, dan cerita-cerita legenda. Tak ada orang berkeberatan kalau kita menyebut ini sebagai warisan sejarah. Namun, perhatikan, semua contoh ini tak pernah mencapai bentuk kekal yang tak berubah dari zaman ke zaman. Ciptaan seni te- rus terpengaruh arus zaman, disesuaikan dengan kebutuhan dan sikap masyarakat suatu waktu.

Lagu cianjuran, misalnya. Banyak orang Sunda beranggapan cianjuran tetap turun-temurun dari zaman ke zaman dalam bentuk asli. Namun, sudah dibuktikan etnomusikolog, sebenarnya bentuk cianjuran sekarang sangat beda dengan bentuknya 100 tahun lalu. Kita harus sadar bahwa kesenian,  persis seperti bahasa, terus berubah mengikut arus waktu; sebagaimana ditutur dalam ucapan Sunda, ngindung ka waktu, ngabapa ka mangsa.

Proses ini juga berlaku dalam perkembangan nilai-nilai etis dan pandangan kita sesama manusia. Taufik Abdullah dalam Kompas (3/9/2014) betul: "Indonesia bukan warisan dari leluhur karena leluhur kita otoriter. Indonesia dibangun dari darah, keringat, dan air mata bersama." Maksudnya, kita berbeda pandangan dari orang dahulu kala dan hal ini harus disadari dan disyukuri: jangan kita mau kembali pada sistem feodal atau sistem ketika hak perempuan dikekang, anak-anak diperlakukan tidak adil.

Sudah memaju
Kita sudah memaju dari pikiran kolot; dan 100 tahun mendatang masyarakat maju lebih jauh lagi dan menggeleng kepala melihat kebiasaan kita sekarang. Persis sebagaimana kita menggeleng kepala memikirkan bagaimana sistem perbudakan dapat diterima zaman dulu.

Tentu ada batas pandangan skeptis kita pada ciptaan materi dan rohani masa lalu. Kita sadar bahwa ciptaan ini akan berubah, tetapi kita tetap menghargai yang pernah dicipta dan terus berusaha menyelami nilai moril dan estetis yang mengilhami orang dulu. Justru itu, kita tetap mengkaji karya sastra Shakespeare, cerita Mahabharata dan Ramayana, apalagi pelajaran agama dan filsafat yang jadi pedoman abadi menentukan sikap kita terhadap dunia di sekeliling kita.

Jadi, tanggapan atas polemik mengenai kebudayaan dan perlu tidaknya kementerian makin jernih. Di satu pihak kita sangat setuju dengan antropolog Pujo Semedi dari UGM yang dimuat  di Kompas (3/9/2014): usaha apa pun membakukan kebudayaan atau membekukannya ialah usaha berbau hegemonik. Artinya, usaha sejenis ini mau berkuasa atas pikiran masyarakat sehingga tak ada kebebasan lagi berdebat atau berbeda pendapat.

Persis inilah yang dilakukan pemerintahan Nazi di Jerman di bawah naungan Kementerian Propaganda.  (Indonesia mengalami hal serupa pada zaman Orba dan pelatihan P4 saat tafsiran sejarah Indonesia dipaksakan diterima peserta kursus.) Hal ini harus dihindari. Di pihak lain kita harus menyambut tujuan mencipta satu kementerian yang tak bermaksud mengontrol cara kita berpikir atau nilai-nilai yang kita harus sanjung, tetapi berencana memberi peluang, fasilitas, dan dana untuk mengembangkan bermacam kesenian dan usaha menggairahkan kehidupan rohani masyarakat.

Banyak yang dapat disebut di sini, mulai dari usaha menjaga warisan materi yang sudah lama terbengkalai, sebagaimana diceritakan Mukhlis PaEni  yang menyesal kehilangan artefak ciptaan zaman dulu ke luar negeri karena pemerintah tak acuh pada barang kuno yang nilainya tidak disadarinya (Kompas 4/9/2014).

Di samping itu, kita harus berusaha melestarikan—bukan dalam bentuk kaku—tradisi tarian dan pementasan di seluruh Indonesia. Kita perlu memberi perhatian pada kearifan lokal sebagaimana ditemui di seluruh pelosok di Indonesia. Kita harus bersedia membantu kelompok kesenian di daerah, menghidupkan dan memberi angin kepada usaha seniman, memberi tempat dan ruang untuk pekerjaan mereka, biar itu museum, galeri, panggung sandiwara.

Demikian patokan yang harus ditiru, bukan patokan Jerman  atau Italia tahun 1930-an, tetapi patokan negara yang pernah jadi pelopor dengan menggalakkan kesenian dan intellectual heritage. Rasanya ini yang diharapkan penulis petisi kebudayaan yang menyatakan bahwa ketimbang negara lain, peran kebudayaan  di Indonesia dikerdilkan (Kompas 4/9/2014). Sebenarnya tak ada beda pendapat di antara orang yang sedang berpolemik; keseteruan timbul hanya karena mereka memakai kata kebudayaan dengan makna berbeda.

Conrad William Watson
Profesor School of Business and Managment ITB; Profesor (Emeritus) School of Anthropology, University of Kent, UK

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008775412
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger