Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 17 September 2014

Potret Guru Indonesia (Ifa H Misbach)

PENELITI R Murray Thomas pernah berkontribusi melakukan penelitian pendidikan dari perspektif sosio-antropologis, yaitu The Prestige of Teachers in Indonesia"(1962). Kesimpulannya: guru Indonesia pada saat itu merupakan role model, panutan, istimewa yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.
Penelitian Thomas diuji kembali oleh Misbach (2013) untuk melihat apakah guru masih jadi panutan bagi siswa sepanjang dekade tahun 2000-2013? Sejak Ujian Nasional (UN) menjadi penentu kelulusan, 2004-2013, terjadi peningkatan jumlah oknum guru melakukan contek massal: lebih dari 1.300 kasus.

Di balik fakta demoralisasi perilaku ini, para guru sangat rentan mendapat tekanan politis menghasilkan kelulusan siswa 100 persen dari kepala sekolah, kepala dinas, bahkan kepala daerah. Belum juga pulih dari persoalan UN yang menjadi langganan dilema moral guru setiap tahun, pemerintah memaksakan berlakunya Kurikulum 2013.

Komisi X DPR menemukan fakta bahwa dokumen isi Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar yang tidak berbasis riset sulit dipahami di lapangan. Hal ini membuat semua guru yang dimintai pendapatnya menyatakan bingung melaksanakan Kurikulum 2013.

Namun, para guru menyatakan takut menyuarakan pendapatnya. Ini mencerminkan mental guru masih terjajah oleh ketakutan untuk melawan penindasan. Mampukah Indonesia pada tahun 2045 menghasilkan generasi penerus bangsa yang cerdas, kritis, dan pemberani jika guru yang mereka jadikan panutan bersikap penakut, apatis, dan memilih diam agar selamat?

Kontradiksi revolusi mental
Isi Kurikulum 2013 menekankan pada kepatuhan yang  tidak memberi ruang kemerdekaan berpikir kritis kepada guru. Ini kontradiktif dengan tujuan mem- bentuk siswa kreatif. Pemaksaan buku Kurikulum 2013 yang isinya sama untuk semua wilayah di Indonesia jelas berlawanan dengan prinsip menghilangkan keseragaman dalam pendidikan karakter yang ingin diperbarui pemerintahan mendatang.

Argumen bahwa Kurikulum 2013 meringankan beban guru karena pusat yang membuatkan silabus merupakan langkah mundur dalam revolusi mental pendidikan. Asumsi ini menunjukkan betapa kaum elite di pusat tidak percaya bahwa guru mampu berpikir mandiri. Guru diposisikan sebagai pihak inferior.

Jika ditemukan fakta di lapangan bahwa masih banyak guru yang tidak dapat menyusun silabus, yang perlu dilakukan justru meningkatkan kualitas pelatihan recharging academic dari pemerintah. Jadi, bukan kurikulumnya yang serta-merta harus diganti, melainkan fokus pemerintah adalah memperbanyak program pemberdayaan guru agar memunculkan banyak kemandirian membuat silabus dan kurikulum.

Kita perlu mengevaluasi bagaimana keberhasilan metode pelatihan dan pendidikan guru yang telah terjadi. Belum ada hasil penelitian yang dipublikasikan untuk melihat kualitas pelatihan dari pemerintah terhadap kualitas cara pengajaran guru di kelas. Pelatihan pendidikan karakter pada Kurikulum 2013 dilakukan hanya menekankan pada metode lecturing, hasilnya akan kembali mengecewakan. Karena karakter adalah doing, bukan knowing, sehingga metode pelatihan Kurikulum 2013 seharusnya adalah magang praktik langsung turun ke lapangan.

Ujian revolusi mental
Revolusi mental pemerintahan mendatang akan diuji sejauh mana komitmennya memperlakukan guru sebagai subyek merdeka. Revolusi mental bukan dimulai dengan tekanan agar guru patuh. Revolusi mental adalah revolusi perubahan mindset.

Terobosan revolusi mental harus dimulai dari membongkar mindset elitis pemegang kebijakan pendidikan agar memberikan trust bahwa guru mampu berdikari. Hilangkan kebijakan-kebijakan yang terus memasung guru menjadi tidak merdeka. Berikan kebebasan guru untuk memilih kurikulum mana yang cocok diterapkan di lapangan sesuai dengan konteks kekayaan lokal yang ada. Kemerdekaan guru juga harus dilepaskan dari aturan otonomi daerah di mana budaya feodal membuat nasib guru sebagai PNS ditentukan mutlak oleh kepala daerah dengan dasar suka dan tidak suka dalam melakukan mutasi.

Kembalikanlah martabat guru secara penuh. Karena di tangan karakter para guru yang berdikari akan membuat transformasi nilai-nilai karakter positif kepada siswa untuk mencontoh guru.  Inilah bonus penting posisi guru untuk membangun karakter generasi penerus bangsa.

Ifa H Misbach
Psikolog; Ketua Bidang Penelitian, Psikologi Terapan Psikologi UPI, Bandung

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008925027
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger