Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 24 September 2014

TAJUK RENCANA: Implementasi UU Hak Cipta (Kompas)

Pengesahan perubahan UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tidak cukup disyukuri dan disosialisasikan, tetapi perlu diimplementasikan.
Kita syukuri warisan DPR periode 2009-2014 sebelum masa kerja mereka berakhir. Dari tugas legislasi yang mereka lakukan—revisi UU Nomor 19 Tahun 2002—ini mencerminkan kehendak rakyat, keinginan diakuinya hak cipta, hak sosial, dan hak ekonomi—para pencipta (kreator), sumber utama semangat kreativitas berinovasi, modal intelektual, titik nol sumber kemajuan bangsa.

Suatu negara akan modern-maju ketika kreativitas, dalam bentuk inovasi, memperoleh perlindungan secara legal. Isu pembangunan ekonomi tidak lagi digerakkan hanya oleh sumber daya alam sudah lama disampaikan, tetapi sebatas wacana ketika perlindungan hak cipta dilalaikan. Inovasi hanya menjadi wacana salah satu dari 12 pilar yang menentukan daya saing suatu negara.

Mengutip 19 ciptaan yang dilindungi UU Hak Cipta yang baru, langkah-langkah sosialisasi, implementasi, dan tindakan konkretnya amat beragam dan luas. Nyaris tidak ada ciptaan (kreasi) yang tidak dilindungi. Secara legal UU ini melindungi maksud ideal kedudukan kreativitas bangsa. Persoalan tinggal pada bagaimana de facto dilaksanakan sehingga hak ekonomi dan hak sosial pencipta terjamin, faktor penting kegairahan mencipta.

Berhadapan dengan pelanggaran yang masif atas segala karya cipta, perlu dilakukan penyadaran bersama secara terstruktur dan berkesinambungan. Pelanggaran hak cipta itu pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak cipta identik dengan pemerkosaan dan perundungan hak seseorang. Ketika kasus pemerkosaan manusia dilindungi secara hukum, itu pun dalam berbagai kasus selalu pelaku dimenangkan atau diuntungkan, seharusnya pelanggar hak cipta mendapatkan sanksi hukum yang sama. Sebab, sebagaimana kehormatan adalah hak eksklusif yang dimiliki pemilik, begitu juga hak cipta sebagai hak eksklusif yang dimiliki pencipta.

Menyangkut hak cipta atas kreativitas penerbitan karya tulis, juga terjadi pelanggaran yang masif atas hak cipta. Produk kopian yang mengalir dari mesin fotokopi, bahkan yang bisa memformat jauh lebih bagus dari aslinya, dengan biaya jauh lebih murah, merugikan pencipta dan penerbit.

Fotokopi atas karya tulis, dikaitkan dengan pencerdasan bangsa, apalagi untuk kepentingan pendidikan, memang dilematis. Di satu pihak ada anggapan begitu hasil tulisan adalah milik publik (padahal ada batas legalitasnya), semua orang bisa memperlakukannya sesuai kebutuhan. Buku menjadi murah, pengetahuan bisa lebih mudah dan cepat tersebar, murid dan mahasiswa bisa memilikinya dengan harga murah. Di lain pihak, praktik fotokopi, apalagi menjadi usaha pabrikan fotokopi, melanggar hak cipta yang dilindungi hak cipta. Pencipta berhak memperoleh royalti.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009054060
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger