Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 23 September 2014

TAJUK RENCANA: Keberanian Memberantas Mafia (Kompas)

SEBAGAI pemimpin baru, Joko Widodo-Jusuf Kalla dihadapkan pada tugas memberantas mafia yang kuat menancapkan guritanya pada perekonomian nasional.
Itu bukan tugas ringan dan tak segampang membalik telapak tangan karena mafia telanjur menguasai berbagai sektor strategis: pangan, energi, pajak, anggaran, pendidikan, kesehatan, logistik, hutan, tambang, dan lain-lain. Ibaratnya, tak ada yang steril dari pemburu rente/perampok uang negara ini.

Di sektor migas, jaringan mafia yang lebih kuat dari negara itu menguasai produksi, ekspor, impor, dan distribusi serta melibatkan oknum pejabat di bidang migas dan BUMN seperti Pertamina dan anak perusahaan, kartel pengusaha dan pialang migas, trader, pemasok, pemain asing, kontraktor, serta distributor.

Di pangan, jaringan ini melibatkan pengusaha besar, investor asing, industri pangan, pedagang, serta mereka yang berada di pusat pengambilan keputusan, politisi dan penegak hukum. Mereka berada di puncak kekuatan yang mengendalikan harga dan tata niaga dari hulu hingga hilir.

Dalam setiap krisis pangan dan energi nasional, selalu ada peran mereka di baliknya. Banyak yang melihat niat Jokowi-JK memberantas mafia sebagai misi mustahil karena di bawah rezim sebelumnya, mafia tidak cuma gagal diberantas, tetapi justru kian subur. Logikanya, mafia terus bercokol dan kian menggurita sebab tak ada yang ditakuti.

Penegakan hukum tak jalan karena pemerintah lemah atau menutup mata sebab ada oknum di pusat kekuasaan yang diuntungkan. Yang ada, pemerintah justru membantah keberadaan mafia. Tak jarang mafia dipelihara karena jadi ATM bagi kelangsungan mesin politik mereka. Dalam beberapa kasus yang terbongkar seperti impor daging sapi dan migas, muaranya sering di kementerian/parpol.

Kasus migas yang menyeret nama Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan Menteri ESDM Jero Wacik hanya puncak gunung es dan membuat kian terang benderang bahwa mafia tak pernah mati sejak korupsi Ibnu Sutowo terangkat ke permukaan pada 1970-an. Modus dan pelakunya kasatmata, tetapi tak tersentuh, tak ada keberanian menindak.

Akibat mafia menggurita, kerugian negara dan rakyat sangat besar, ratusan triliun rupiah per tahun, yang mestinya bisa untuk membangun infrastruktur dan menyejahterakan rakyat. Akibat spekulasi dan mafia pangan, kita semakin dalam masuk perangkap impor serta semakin jauh dari kemandirian dan kedaulatan pangan.

Petani jadi korban dan pembangunan sektor pertanian serta pangan terabaikan. Impor pangan kian tak terkendali, dengan impor nyaris semua komoditas melonjak puluhan hingga ratusan persen 10 tahun terakhir. Suburnya mafia dan kartel menyebabkan industri tak berkembang. Industriawan memilih jadi pedagang dan pemburu rente.

Mafia, dengan back up oknum penguasa, jadi mesin ampuh penghancur kemandirian/kedaulatan sehingga kita hanya jadi negara pengimpor. Tekad memberantas mafia sebagai kejahatan luar biasa yang menghancurkan perekonomian akan membentur tembok, tanpa adanya keberanian memutus jaringan rantai mafia dan upaya sistematis melibatkan seluruh komponen/kekuatan masyarakat.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009039252
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger