Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 18 September 2014

TAJUK RENCANA: Konsistensi Seorang Artidjo (Kompas)

APRESIASI dan penghargaan harus disampaikan kepada Hakim Agung Artidjo Alkostar atas konsistensinya memerangi korupsi di negeri ini.
Bukan hanya sekali Artidjo, seorang hakim yang sepi, memperberat hukuman terhadap terpidana korupsi yang sampai ke mejanya. Sebelumnya Artidjo memperberat hukuman terhadap politisi Demokrat, Angelina Sondakh, melipatgandakan hukuman terpidana kasus pajak Tommy Hindratno, dan menghukum mati terpidana narkotika Giam Hwei Liang alias Hartoni Jaya Buana yang mengendalikan peredaran narkotika. Namun, vonisnya yang terakhir, terhadap mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, menunjukkan betapa Artidjo konsisten ingin menciptakan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Bukan hanya menambah hukuman 16 tahun menjadi 18 tahun penjara, majelis yang diketuai Artidjo Alkostar dan beranggotakan MS Lumme dan M Askin dengan suara bulat mengenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Dalam menjatuhkan putusan, Artidjo tidak hanya mengeja pasal sebagaimana layaknya pengikut positivisme hukum. Artidjo keluar dari positivisme hukum dengan mempertimbangkan realitas sosiologis dan politik. Seperti dikutip Kompas, dalam pertimbangannya, Artidjo mengatakan, "Perbuatan terdakwa selaku anggota DPR yang melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat banyak, khususnya yang telah memilih terdakwa menjadi anggota DPR." Artidjo menggunakan terminologi "korupsi politik", yaitu kekuasaan elektoral yang dimiliki digunakan untuk mendapatkan fee.

Selain apresiasi, vonis Artidjo pasti menuai kritik. Ada yang menilai vonis itu tidak adil atau sekadar pencitraan. Namun, kita memandang pertimbangan Artidjo layak diapresiasi. Pemikiran hukum yang progresif layak dijadikan yurisprudensi hakim muda. Pencabutan hak politik adalah pidana tambahan yang diatur KUHP. Namun, pidana tambahan jarang digunakan. Sebuah pasal pidana yang tak pernah ditegakkan hanya akan menjadi kata-kata. Itulah yang dikatakan Thomas Hobbes dalam karya Leviathan, "Covenants, without the sword, are but words".

Palu hakim Artidjo dalam vonisnya yang cenderung memperberat hukuman mengingatkan kita akan perdebatan klasik dalam teks hukum pidana Inggris dalam kasus pencuri kuda. Seorang hakim Inggris berkata, "Saya hukum gantung kamu bukan karena kamu mencuri kuda, tetapi agar kuda lain tidak dicuri." Filosofi hukum inilah barangkali yang perlu diadopsi sejumlah hakim lain agar ketukan palu hakim juga didedikasikan untuk menyembuhkan bangsa ini dari penyakit korupsi dan mencegah kejahatan lain terjadi.

Kita mendorong, selain menjerat dengan pidana pokok, pencabutan hak politik bisa dilakukan untuk menjerat koruptor, perampok uang negara. Ancaman pidana tambahan pencabutan hak politik bisa diadopsi RUU Pilkada untuk menjerat para calon kepala daerah yang punya sikap menghalalkan segala cara, termasuk membeli kekuasaan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008944264
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger