Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 16 September 2014

TAJUK RENCANA: Paus Fransiskus Risaukan Perang (Kompas)

BAGI sebagian pengamat yang optimistis, perang yang kita kenal secara bertahap menjadi sesuatu yang kuno (obsolete), anatema, alias ketinggalan zaman.
Semakin disadari, selain biayanya mahal—ingat karya Joseph Stiglitz, The Three Trillion Dollar War—hasilnya pun tak efektif. Satu contohnya invasi AS ke Irak tahun 2003. Betul Saddam Hussein dijatuhkan, tetapi alih-alih menjadi negara damai, kondisi Irak jadi lebih kusut dibandingkan dengan sebelum invasi AS, yaitu kekerasan berlangsung hampir setiap hari.

Selain biaya, orang melihat, tali-temali ekonomi antarnegara semakin dalam sehingga memerangi satu negara ibarat melukai (kepentingan) diri sendiri. Dengan segala kerumitan diplomatiknya, saling ketergantungan ekonomi antara AS dan Tiongkok, misalnya, sudah sangat mendalam. Ini membuat insentif perang jadi kecil. Paling keduanya hanya terlibat pada retorika.

Dalam kaitan ini, paham geoekonomi semakin dominan sehingga tidak perlu negara yang punya kepentingan politik dan ekonomi melancarkan perang untuk menguasai wilayah. Sekarang ini tampaknya yang lebih diutamakan adalah menguasai pasar dan perekonomian lawan sehingga tujuan politik dan ekonomi yang ingin dicapai bisa dilancarkan tanpa menembakkan peluru atau rudal.

Mengapa Paus Fransiskus menyatakan perang dunia ketiga mengintai? Seperti kita baca Senin (15/9), Paus mengatakan, sekarang ini sedikit demi sedikit perang dunia III mungkin telah dimulai, dengan serentetan kejahatan, konflik, pembantaian, dan kehancuran di seluruh dunia. Di antara konflik yang disebut Paus adalah Ukraina, Irak, Suriah, Gaza, dan bagian-bagian Afrika.

Futuris Alvin Toffler dalam bukunya War and Anti-War menyatakan bahwa perang tidak rasional. Kalau rasional, kecil adanya insentif untuk berperang mengingat argumen di atas. Namun, perang terus terjadi karena alasan irasional.

Kondisi sekarang ini ditandai antara lain dengan dunia yang kelangkaan otoritas dan kepemimpinan berwibawa. Hal ini menyebabkan tata dunia yang diharapkan tertib dan damai tampak jauh dari kenyataan.

Para pemimpin kuasa besar boleh jadi sibuk dengan agenda dan dilemanya masing-masing sehingga konflik regional seolah berlangsung tanpa bisa diintervensi. Yang kemarin terjadi di Ukraina dan Gaza bisa disebut sebagai contohnya yang nyata. Jika situasi terus berlangsung, konflik dikhawatirkan terus merebak dan menyeret pihak lebih luas.

Dalam kondisi yang mencemaskan itulah, boleh jadi Paus Fransiskus punya alasan yang cukup untuk mengatakan, ada gejala bagi pecahnya konflik yang lebih besar. Meski masuk akal, kita sulit membayangkan jika perang besar sebagaimana pernah terjadi di Eropa pada abad silam, pecah kembali. Tidak terbayangkan akibatnya jika senjata pemusnah massal ini mulai ikut bicara.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008914632
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger