Memilih 34 menteri menjadi tantangan pertama. Ketika akhirnya komposisi kabinet diumumkan, kita wajib menghormati hak prerogatif Presiden. Namun, sebagai warga negara, kita juga berhak mengawal kinerja pemerintah, khususnya para menteri.
Presiden Joko Widodo datang ke istana dengan cita-cita besar mengembalikan kejayaan Indonesia di kancah dunia. Tentu dengan berpijak pada modal kekuatan dalam negeri dengan mengusung program Kedaulatan dalam Politik, Kemandirian dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan. Wujud kejayaan bangsa diartikulasikan dalam semboyan kuno "Jalesveva Jayamahe" atau "Di Laut Kita Jaya" yang dikumandangkan saat pelantikan.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita besar tersebut, ada banyak tantangan riil yang harus segera diselesaikan pada tingkat kementerian. Pertama, kondisi fiskal pemerintah berpotensi mengalami masalah cash flow menjelang akhir tahun ini. Menteri keuangan baru harus segera mengatur strategi mengamankan posisi keuangan negara. Untunglah jika menteri yang dipilih sudah berpengalaman di Kementerian Keuangan pada pemerintahan sebelumnya.
Kedua, menyiapkan perangkat kebijakan mengubah arah fiskal dengan mengurangi subsidi bahan bakar minyak serta mengalihkannya ke pos lain yang lebih produktif. Ini merupakan hajatan besar yang melibatkan banyak kementerian karena berimplikasi makroekonomi, politik, dan sosial.
Ketiga, mengubah Undang-Undang RAPBN 2015 yang sudah disahkan. Tanpa perubahan, tak mungkin pemerintahan baru merealisasikan janji politik. Keempat, merancang kebijakan di semua lini yang esensinya mendorong sisi penawaran dalam ekonomi. Selama sepuluh tahun terakhir, sisi pasokan tak pernah diperhatikan.
Pemerintah baru harus berpikir sebaliknya, membongkar struktur perekonomian melalui aneka kebijakan strategis di sejumlah bidang, khususnya sektor riil. Jika dalam proses itu menimbulkan gangguan stabilitas, perlu perangkat mitigasinya. Bukan sebaliknya, untuk menghindari instabilitas, pemerintah tidak berani melakukan perubahan struktural.
Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hanya langkah paling awal dalam perubahan struktural. Jika tujuannya stabilitas, kebijakan ini perlu dihindari. Cara paling mudah, memangkas pengeluaran di kementerian dan lembaga. Dengan kecenderungan turunnya harga minyak di pasar dunia, cara ini diyakini bisa menutup kebutuhan subsidi BBM. Namun, tujuannya tidak sekadar menutup kekurangan subsidi, tetapi mengubah arah fiskal menjadi lebih produktif. Maka dari itu, mengalihkan anggaran subsidi menjadi keharusan. Selain meningkatkan pendapatan pajak, juga membenahi industri minyak dan gas bumi agar lebih efisien.
Jadi, argumen penolakan kenaikan harga BBM dengan alasan sektor migas belum efisien menjadi tak sahih. Meskipun kenaikan harga BBM juga akan kehilangan legitimasi jika tak dibarengi pembersihan sektor migas dari para pemburu rente (mafia).
Setelah berhasil menaikkan harga BBM, penghematan anggaran yang diperoleh harus segera dibelanjakan pada pos lain. Jika tidak, menambah beban masyarakat tanpa memberikan manfaat peningkatan produktivitas serta daya beli masyarakat. Selama ini, tambahan belanja modal tak menjadi prioritas karena dari pos yang sudah dialokasikan tak pernah terserap maksimal.
Ke mana penghematan subsidi sebaiknya dialokasikan? Ada dua arah kebijakan yang bisa dituju. Pertama, mengikuti poros maritim yang sudah dicanangkan, pengalihan subsidi diarahkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur kelautan, seperti pelabuhan dan industri galangan kapal. Kedua, bisa diarahkan untuk mendorong pembangunan infrastruktur pedesaan guna mendukung sektor pertanian, seperti bendungan, irigasi, dan akses ke sentra produksi.
Secara umum, kebijakan pemerintah baru berorientasi pokok memperkuat perekonomian domestik sebagai satu kesatuan mata rantai nilai pasokan yang utuh. Langkah ini urgen karena akhir 2015 perekonomian domestik kita akan terhubung dengan mata rantai nilai regional dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Selain itu, orientasi kebijakan harus diarahkan untuk mengimplementasikan kemandirian dalam perekonomian. Selama ini, kita masih tergantung dari sumber daya asing dalam menggerakkan perekonomian domestik. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,2 persen, dengan defisit transaksi berjalan sekitar 3,1 persen. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan sebesar 5,2 persen saja, kita masih harus "berutang" dengan pihak asing dalam berbagai hal senilai 3,1 persen terhadap produk domestik bruto kita. Artinya, daya saing perekonomian kita sangat rendah.
Kemandirian ekonomi harus dibangun dengan cara menurunkan defisit transaksi berjalan dengan cara menaikkan produktivitas dan daya saing perekonomian. Pertama, neraca barang harus surplus, artinya impor harus ditekan, sementara ekspor didorong. Impor bahan baku yang mencapai 75 persen dari total impor mengharuskan pemerintah baru membangun industri penghasil bahan baku di pasar domestik.
Kedua, neraca jasa selama ini selalu defisit. Arah poros maritim harus diikuti dengan membangun logistik kelautan. Selama ini, jasa pengapalan dan asuransi ekspor selalu dikuasai asing. Guna menekan neraca jasa, kita harus membangun sektor jasa transportasi kelautan yang memadai.
Akhirnya, meskipun kabinet sudah terbentuk, tetap harus diciptakan mekanisme penilaian agar presiden punya hak mengganti menteri di tengah jalan jika terbukti tidak mampu melaksanakan pekerjaan, baik karena alasan kompetensi maupun integritas.
A Prasetyantoko Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009734383
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar