Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 13 Oktober 2014

TAJUK RENCANA: Fokus Kebijakan Pendidikan (Kompas)

ANGGARAN fungsi pendidikan Rp 409 triliun atau 20,06 persen dari APBN 2015 sebesar Rp 2.039,48 triliun perlu disyukuri. Separuh di antaranya untuk guru.
Di sisi lain, alokasi anggaran pendidikan naik Rp 33,6 triliun dibandingkan dengan pagu tahun 2014 sebesar Rp 375,4 triliun menyimpan kekhawatiran. Selain potensi terjadi kebocoran, juga ketidakmampuan memanfaatkan anggaran secara efektif dan efisien. Kedua kekhawatiran itu muncul oleh faktor kinerja birokrasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Terlepas masih adanya perubahan pemerintahan baru, penambahan anggaran secara signifikan ini menunjukkan niat baik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Selain faktor kinerja birokrasi teknis, niat baik itu menyisakan pertanyaan: apakah Joko Widodo-Jusuf Kalla punya ruang fiskal dan waktu mengubah RAPBN sekaligus menyesuaikannya dengan program prioritas mereka?

Sudah ada banyak contoh kekurangmampuan birokrasi Kemdikbud menyangkut prioritas penganggaran. Selama ini, dari berbagai kebijakan yang menyangkut praksis pendidikan—dasar, menengah, dan tinggi—kinerja birokrasinya sering kedodoran. Secara sarkastis, terpaksa kita sampaikan tidak fokus.

Setelah alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, pernyataan tidak fokus itu terlihat dalam berbagai kebijakan. Contohnya penegerian sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) yang sebelumnya tidak dikenal. Kebijakan itu tidak menjadi soal kalau dibarengi kebijakan meningkatkan mutu PTS-PTS yang lebih dulu eksis. Pertanyaan kritisnya, mengapa tidak mendahulukan semangat subsidiaritas dan bukan mengakuisisi?

Semangat "membonsai" lembaga pendidikan tinggi swasta serupa dengan yang dilakukan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Penegerian lembaga pendidikan swasta lewat berbagai bentuk tanpa sadar merupakan kehendak menempatkan yayasan penyelenggara pendidikan swasta tidak sebagai mitra, tetapi pesaing negeri. Siswa dan mahasiswa jadi warga negara kelas dua.

Fenomena penegerian "ramai-ramai" PTS hanya satu contoh tidak fokusnya kebijakan di jenjang pendidikan tinggi, selain moratorium beasiswa serta riuhnya wacana pemisahan pendidikan tinggi di bawah Kemdikbud, sekadar dua contoh lainnya, termasuk wacana menggratiskan semua mahasiswa. Di jenjang pendidikan dasar dan menengah kedodorannya lebih bervariasi. Kita harapkan jangan sampai alokasi 50 persen anggaran pendidikan untuk guru tidak ikut-ikutan kedodoran.

Terkait prioritas pemerintahan Jokowi-JK, reformasi birokrasi—khususnya Kemdikbud—merupakan keharusan. Revolusi mental dalam menangani secara bijak bidang pendidikan. Berpikir dan bekerja terfokus merupakan syarat. Pimpinan puncak kementerian dituntut tidak hanya kuat dalam konsep, tetapi juga paham kondisi aktual Indonesia yang serba beragam.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009363800
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger