Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 15 Oktober 2014

TAJUK RENCANA: Inggris Mulai Bayar Utang (Kompas)

HASIL pemungutan suara di Parlemen Inggris, dengan hasil 274:12, mendukung berdirinya negara Palestina, adalah langkah simbolik sangat bermakna.
Meskipun jumlah anggota parlemen yang ikut memberikan suara—baik mendukung maupun menolak solusi dua negara bagi penyelesaian konflik Palestina—tidak mencapai separuh, toh pemungutan suara itu dapat memiliki implikasi internasional. Inilah langkah simbolik. Jumlah anggota Parlemen Inggris 650 orang.

Langkah Parlemen Inggris itu menyusul keputusan Swedia yang beberapa hari lalu mengakui negara Palestina. Pernyataan pengakuan Swedia itu diungkapkan oleh Perdana Menteri Stefan Lofven. Swedia bergabung dengan 130 negara lainnya yang sudah mengakui negara Palestina.

Pemerintah Inggris memang belum mengakui kemerdekaan negara Palestina seperti Swedia. Bahkan, pada pemungutan suara di Sidang Umum PBB 2012 untuk meningkatkan status Palestina menjadi "negara pemantau bukan anggota", Inggris termasuk salah satu anggota yang abstain.

Karena itu, keputusan Parlemen Inggris kemarin sungguh sangat bermakna. Apalagi, kalau kita lihat ulang sejarah hubungan Inggris dengan Palestina. Setelah berakhirnya Perang Dunia I, Inggris mendapat mandat dari Liga Bangsa-Bangsa untuk "mengurus" Palestina. Mandat itu yang disebut—Mandat Inggris—dipegang hingga 1948.

Sebelum menerima mandat tersebut, Inggris mendukung apa yang disebut sebagai Deklarasi Balfour
(2 November 1917). Deklarasi ini pada intinya berisi pernyataan dukungan Inggris bagi didirikannya "national home" bagi bangsa Yahudi di Palestina. Istilah "national home" itu yang diartikan sebagai "negara" sekarang ini. Setelah itu, Inggris menandatangani kesepakatan dengan Perancis tentang pembagian wilayah bekas kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah di Timur Tengah. Kesepakatan itu disebut Kesepakatan Sykes Picot, 26 November 1917.

Dengan mendukung Deklarasi Balfour itu, berarti Inggris memfasilitasi pembentukan negara Yahudi di Palestina. Karena itu, mereka mendukung kemerdekaan Israel (1949) di wilayah Palestina yang sebelumnya dihuni orang-orang Arab-Palestina, juga Yahudi. Inilah boleh dikatakan sebagai "kesalahan politik" Inggris pada waktu itu, yang berdampak hingga sekarang.

Karena itu, persetujuan, meskipun "hanya" 274 anggota parlemen, dapat dikatakan sebagai "cicilan" pembayaran utang Inggris kepada bangsa Palestina. Kita berharap bahwa pada akhirnya semua anggota Parlemen Inggris dan Pemerintah Inggris, didukung rakyatnya, mengakui kemerdekaan Palestina sebagai negara berdaulat.

Kita berharap bahwa semakin banyak negara yang mengakui bahwa solusi dua negara adalah jalan terbaik bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009472868
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger