Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 14 Oktober 2014

Jokowinomics dan BI-OJK (Fachry Ali)

DRENGAN keharusan memenuhi janji kampanye, kebijakan ekonomi presiden terpilih Joko Widodo (Jokowinomics) pada dasarnya adalah program pengeluaran besar-besaran (massive and expansive spending program).
Program pengeluaran besar-besaran itu untuk pembangunan infrastruktur guna menciptakan keterangkaian geografis bersifat maritime-based (berbasis maritim) demi mewujudkan kesatuan ekonomi nasional; pembangunan pertanian dan agroindustri untuk menciptakan kemandirian pangan; pengembangan manufaktur untuk menciptakan industri yang kompetitif; dan pemberdayaan "ekonomi tradisional" untuk menciptakan keadilan. Ujung dari program ini: mengejar pertumbuhan 7 persen, sebagaimana dijanjikan Jokowi.

Baik Jokowi, wakil presiden terpilih Jusuf Kalla, maupun tim ekonominya pastilah menyadari bahwa tiga program pertama (infrastruktur, kemandirian pangan, dan pengembangan manufaktur) perlu mobilisasi dana raksasa, sementara belanja modal yang tersedia di APBN hanya 10 persen. Artinya, pelaksanaan Jokowinomics pada tahun pertama niscaya terkendala sempitnya ruang manuver fiskal.

Pengaruh lingkungan global
Yang kurang didiskusikan adalah pengaruh lingkungan sistem finansial global atas kemungkinan terlaksananya program-program strategis itu. Dalam konteks inilah, Jokowinomics harus memosisikan peran Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Itu karena kinerja duet otoritas moneter tertinggi Indonesia ini berfungsi sebagai garda terdepan berhadapan dengan tekanan eksternal (external shocks) yang terembus dari dinamika sistem finansial global. BI dan OJK, karena itu, bertindak sebagai penjaga ketahanan politik bagian luar (the outward political defence) bagi perekonomian. Bagaimana frasa "aneh" ini harus dipahami? Uraian di bawah berusaha menjawabnya.

Dalam From Asian to Global Financial Crisis: An Asian Regulator's View of Unfettered Finance in 1990s and 2000s (2009), Andrew Sheng menyatakan terbatasnya kemampuan negara mengatasi tekanan eksternal dari dunia finansial tak berbatas dan tak terkekang. Ini mengingatkan saya pada Philip Cerny. Dalam buku suntingannya, Finance and World Politics: Markets, Regimes and States in the Post-Hegemonic Era (1993), ia bertanya, "Jika negara-bangsa tak lagi mampu mengontrol uang internasional, siapa lagi yang bisa?" Nada galau ini berasal dari perkembangan sejarah "pergulatan kedaulatan" antara negara dan sistem serta aktor-aktor finansial.

Walaupun mulanya negara-lah yang menciptakan iklim kondusif bagi kinerja sistem finansial, seperti dipostulasikan Niall Ferguson dalam The Ascent of Money: Financial History of the World (2008), lambat laun baik sistem maupun aktor-aktor finansial menemukan posisi otonomnya terhadap negara. Menurut Cerny, otonomi sistem dan aktor-aktor finansial ini terjadi pada masa pasca hegemoni (post-hegemonic era): absennya kekuatan politik yang mampu memberikan international public goods, berupa kestabilan politik dan ekonomi di dalam tatanan dunia kapitalis. Menggantikan Inggris, Amerika Serikat tampil sebagai negara yang mampu menciptakan international public goods pada pertengahan abad XX.

Hal itu adalah negara berkapasitas mendesain struktur dan sistem pasar finansial, sebuah upaya kolektif menerapkan capital control, gold standard, pendirian Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Bretton Woods Agreement pada 1944. Sebuah usaha, meminjam frasa Helleiner, menciptakan kondisi: finance is the servant.

Toh AS tak mampu bertahan. Itu karena sampai 1968, cadangan emas the Fed menyusut drastis menjadi 10,3 miliar dollar AS dari 19,4 miliar dollar AS pada 1959. Situasi ini, ujar Richard Duncan, dalam The New Depression: The Breakdown of the Paper Economy (2012), menimbulkan dilema karena pada saat sama peredaran dollar AS justru meningkat. Ketika rasio cadangan emas dan peredaran dollar AS menyusut hingga 25 persen pada 1968, tingkat terendah yang ditoleransi Federal Reserve Act 1913, Presiden Lyndon Johnson mendesak Kongres menghapus keharusan cadangan emas melalui Gold Reserve Requirement Elimination Act pada 1968. Akibatnya, terjadi lonjakan 50 kali lipat ekspansi kredit mata uang kertas AS sejak 1964 hingga 2007. Ekspansi kredit mata uang dollar AS inilah yang meredupkan hegemoni AS dalam mengontrol sistem dan aktor finansial. Di sini, perseteruan negara-aktor finansial dikukuhkan.

Tak mengherankan, dalam The Great Degeneration: How Institutions Decay and Economies Die (2013), Ferguson melihat pertarungan kedaulatan ini berbau seleksi alamiah ala Darwinian. Layaknya binatang liar Serengeti di Afrika, "Individu-individu dan korporasi-korporasi berada dalam sebuah pertarungan konstan untuk tetap hidup, memperebutkan sumber daya yang terbatas". Setiap inovasi atau mutasi (dalam pengertian alam) akan berkembang atau mati, tergantung dari sejauh mana seseorang atau perusahaan menyesuaikan diri dalam lingkungan baru. Seleksi alamiah yang menandai pertarungan negara-sistem finansial inilah yang menjelaskan mengapa negara kewalahan menghadapi serbuan kejutan-kejutan dunia finansial. Krisis finansial global 2008 menunjukkan, bahkan negara sedigdaya AS sekalipun tak mampu "melawan" dengan sempurna tekanan aktor-aktor finansial.

Jebakan finansial domestik
Bagi kita, keampuhan sistem finansial dalam struktur kompetisi Darwinian natural selection ini terlihat nyata ketika negara, sebagai pemegang otoritas politik di Indonesia, tak mampu menahan tekanan eksternal yang dipancarkan pada 1997-1998. Kini, walau reformasi hampir menyeluruh telah diselenggarakan, pergulatan kedaulatan antara negara dan sistem aktor finansial tetap berlangsung. Dalam arti, dinamika sistem finansial global mengandung kekuatan ancaman bagi keberadaan negara. Turbulensi ekonomi nasional yang terasa sejak akhir 2013 hingga hari-hari ini memperlihatkan sumber kekuatan ancaman yang sama: usaha AS menjinakkan sistem finansialnya.

Dalam sempitnya manuver ruang fiskal 2015-2016, pelaksanaan Jokowinomics rentan terhadap gejolak eksternal karena mewarisi efek "jebakan finansial" dari usaha the Fed mengatasi krisis 2008. Kita ketahui, untuk mengatasi resesi global 2008, the Fed menempuh kebijakan stimulus moneter dan quantitative easing (QE), penurunan radikal suku bunga acuan, dan penyediaan dana 85 miliar dollar AS per bulan untuk membeli saham di pasar modal. Kebijakan ini, meminjam frasa Anna Yukhananov dan Alonso Soto, melahirkan ultra loose monetary policies tingkat global karena langkah sama dilakukan bank sentral Eropa dan bank sentral Jepang di bawah Shinzo Abe sejak 2012.

Ini mendorong kenaikan likuiditas dana segar tak berpreseden pada skala global dalam dollar AS, euro, ataupun yen. Sejak 2007 hingga 2013, misalnya, the Fed telah menggelontorkan dana 3 triliun dollar AS, diikuti ECB 2 triliun euro (2,7 triliun dollar AS) dalam periode sama. Gabungan dana raksasa inilah yang membanjiri emerging markets hingga—pada 2012 saja, dalam bentuk investasi di pasar modal (foreign indirect investment)—mencapai 1,2 triliun dollar AS. Sebagai bagian dari emerging markets, Indonesia turut menerima limpahan itu. Inilah yang menjelaskan, di samping booming komoditas ekspor dan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 6 persen, mengapa cadangan devisa kita bertahan di atas 100 miliar dollar AS beberapa tahun pasca krisis global 2008.

Namun, semua ini mengandung "jebakan". Mengikuti analisis Duncan, peningkatan cadangan devisa yang umumnya dalam dollar AS itu pertanda melebarnya kerugian neraca perdagangan AS dengan negara-negara lain. Artinya, kenaikan cadangan devisa itu identik ekspansi kredit raksasa difasilitasi kerugian neraca perdagangan AS. Sebagai akibatnya, negara-negara yang untung besar dalam neraca pembayaran cenderung dihinggapi kepanasan ekonomi (economic heating) dan hiperinflasi karena keuntungan perdagangan itu mendorong penciptaan kredit melalui sistem perbankan mereka. Dalam konteks inilah "jebakan finansial" bisa dipahami. Apakah Indonesia mampu mengelak "jebakan" banjir likuiditas ini?

Arti "jebakan" itu terletak pada sifat hot money penggunaan banjir dana tersebut, yakni dana yang sangat mobile yang diinvestasikan ke dalam pasar saham Indonesia, dan karena itu rentan terhadap arus balik (capital outflows). Maka, ketika the Fed, di bawah Ben Bernanke, pada akhir September 2013 mewacanakan pengurangan program QE (tapering off), telah terjadi arus balik modal sebesar 83 miliar dollar AS dari emerging markets. Dan, tanpa menunggu, kekacauan finansial melanda Indonesia bulan itu juga, yaitu nilai rupiah jatuh hingga 16 persen dan Indeks Harga Saham Gabungan yang akhir Mei (2013) 5.214 menukik menjadi 4.517,62.

Tepat setahun kemudian, yakni September 2014, ketika Jokowinomics akan dilaksanakan, gejala dari dan sumber yang sama berulang: wacana the Fed menaikkan suku bunga setelah resesi AS relatif bisa ditanggulangi. Akibatnya, walau baru wacana, pelarian modal terjadi bersamaan dengan merosotnya rupiah hingga
Rp 12.000 per dollar AS. Semua ini menjadi hadangan pelaksanaan Jokowinomics.

Kendatipun benar depresiasi rupiah akan mendongkrak ekspor, keharusan impor BBM bersubsidi dan energi akan menghadang di depan. Itu karena, dengan kian dalamnya depresiasi rupiah, alokasi subsidi energi Rp 350 triliun dengan cepat akan terlampaui. Sementara, seperti ditekankan A Tony Prasetiantono (Kompas, 22/9/2014), kemantapan kepercayaan "pasar" dibayang-bayangi fakta utang luar negeri jangka pendek 60 miliar dollar AS dari total utang pemerintah dan swasta 290 miliar dollar AS. Semua ini memberikan tekanan laten atas sektor fiskal dan devisa yang berujung pelarian modal dan mengancam stabilitas ekonomi.

Simbiosis dengan BI dan OJK
Dengan mewarisi "jebakan finansial" ini, bagaimanakah Jokowinomics harus dilaksanakan? Bukankan sifat pengeluaran masif dan ekspansifnya membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi guna memperoleh kemampuan mobilisasi dana raksasa? Namun, pada saat sama, bukankah pertumbuhan itu akan mendorong impor yang tak saja melecut inflasi dan menguras devisa, tetapi juga menambah defisit neraca transaksi berjalan karena dukungan modal domestik tak memadai? Bukankah defisit terakhir ini, seperti yang sudah-sudah, cenderung mendorong pelarian modal dan karena itu, akan menekan rupiah? Dan terakhir, bukankah semua ini akan mengawetkan "jebakan finansial", dalam arti rentan pada external shocks, sepanjang pelaksanaan Jokowinomics nanti?

Usaha mencari jawaban atas rentetan pertanyaan di atas yang jadi tugas pokok BI dan OJK. Kedua instansi ini adalah otoritas tertinggi menjaga kestabilan moneter dan finansial. Sementara BI berkonsentrasi pada pengendalian inflasi dan stabilitas mata uang melalui penetapan suku bunga sebagai instrumen utamanya; OJK, di samping meningkatkan tingkat melek finansial masyarakat, memfokuskan kinerja pada stabilitas industri finansial dengan menekankan disiplin para pelaku melalui penerapan market conduct yang efektif. Independensi keduanya telah menyebabkan kinerja mereka bergerak pada tataran teknikal moneter-finansial.

Dalam arti, kebijakan mereka bukanlah hasil tekanan sosial-politik, melainkan berdasarkan fakta obyektif moneter dan finansial. Dengan kalkulasi teknikal inilah, BI telah mengambil peran besar dalam mengendalikan tekanan eksternal yang dipancarkan krisis global 2008. Dalam konteks inilah, keduanya bertindak sebagai outward political defence. Itu karena, tanpa menampik kelemahan struktural tingkat domestik, semua fakta yang direkonstruksikan di atas menunjukkan monetary and financial attacks niscaya terembus dari luar. Sifat kinerja ini membuat keduanya jadi kekuatan konservatif dalam hal moneter dan finansial. Merekalah, menggunakan frasa Liaquat Ahamed dalam Lords of Finance, yang jadi bentengnya benteng (the citadel of citadel) moneter dan finansial dari "serangan" luar. Dilihat sepintas, kinerja BI dan OJK akan "berbeda kamar" dengan Jokowinomics. Yang pertama bersifat mengerem, yang kedua ekspansif. Karena itu, simbiosis Jokowinomics dengan BI dan OJK menjadi mutlak. Hanya dengan menjadikan keduanya bagian integral, pelaksanaan Jokowinomics dapat mereduksi efek destruktif jebakan finansial yang akan dihadapinya.

Fachry Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009378333
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger