Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 04 Oktober 2014

TAJUK RENCANA: Sebuah Pesan untuk Negeri (Kompas)

DRAMA penetapan pimpinan DPR 2014-2019 dari Rabu hingga Kamis dini hari menyampaikan sebuah pesan untuk negeri ini.
Pesan itu adalah hilangnya negarawan! Kepentingan individual dan kelompok lebih dominan daripada kepentingan bangsa. Demokrasi berubah menjadi adu kuat dan menghilangkan esensi musyawarah-mufakat. Melalui televisi, masyarakat menyaksikan bagaimana anggota DPR "Yang Terhormat", yang baru beberapa jam mengucap sumpah, merangsek ke tempat pimpinan sidang ketika interupsi diabaikan. Itu dicatat sejarah!

Hampir tak ada perdebatan sekelas negarawan yang memikirkan kondisi bangsa. Yang tampak justru perdebatan pokrol antarpolitisi. Memilih hari ini atau ditunda. Drama ini mengingatkan kita akan ungkapan James Clarke, intelektual Amerika Serikat. Clarke berujar, "Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan."

Meski bukan satu-satunya faktor karena ada faktor luar negeri, Indeks Harga Saham Gabungan anjlok meninggalkan level 5.000 atau turun 2,73 persen. Investor khawatir. Itulah realitas politik. Perebutan pimpinan DPR dengan sistem paket yang mensyaratkan dukungan lima fraksi didesain sejak awal dengan pembahasan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Skenario dikuatkan dengan Tata Tertib DPR. Prinsip the winner takes all akan berlaku di sini.

Paripurna DPR mengesahkan Setya Novanto (Partai Golkar) sebagai Ketua DPR dengan wakil Agus Hermanto (Demokrat), Fahri Hamzah (PKS), Fadli Zon (Gerindra), dan Taufik Kurniawan (PAN). Itulah pimpinan DPR yang seharusnya merupakan tokoh terbaik partai politik. Tokoh yang seharusnya bebas dari rumor korupsi. Namun, bayangan publik buyar. Ketua KPK Abraham Samad menyebut Setya Novanto berpotensi punya masalah hukum.

Sistem yang didesain membuat partai pemenang pemilu, PDI-P, dengan 109 kursi tak punya representasi di pimpinan DPR. Komposisi ini lebih buruk dibandingkan dengan Orde Baru yang masih memberikan tempat kepada partai "oposisi", PDI dan PPP. Pada DPR era Presiden Soeharto duduk, misalnya, Soerjadi dari PDI serta Ismail Hasan Metareum dan HJ Naro dari PPP sebagai wakil ketua.

Tidak adanya representasi PDI-P tak bisa juga dilepaskan dari kegagalan komunikasi antar-pimpinan partai politik. Sebagaimana diberitakan, gagalnya pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri disebut sebagai salah satu faktor munculnya ketegangan politik. Kedua pihak sama-sama menyatakan siap berkomunikasi, tetapi pertemuan kedua tokoh itu tidak pernah terjadi.

Kita berharap tokoh bangsa mau mengurangi ego individu demi kepentingan bangsa ke depan. Perjalanan bangsa ke depan ditentukan dari kemauan tokoh berkomunikasi dan bermusyawarah mencari solusi. Kompleksitas bangsa membangun demokrasi membutuhkan negarawan yang juga seorang demokrat.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009259838
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger