Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 04 Oktober 2014

TNI ”Baru” yang Disegani (Luhut B Pandjaitan)

DALAM salah satu percakapan dengan presiden terpilih Joko Widodo, pernah ia menanyakan kondisi alat utama sistem persenjataan milik TNI sekarang.
Ketika itu saya baru datang dari Malang. Saya katakan, di Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh masih ada satu skuadron pesawat angkut C-130 Hercules aktif yang pernah penulis gunakan terjun di Timor Timur akhir 1975. Jokowi geleng-geleng kepala tanda prihatin. Ia pun menegaskan, apabila pertumbuhan nasional Indonesia pada masa kepemimpinannya nanti cukup baik, akan ada dana yang cukup besar untuk menumbuhkan TNI menjadi angkatan bersenjata yang kuat, modern, yang disegani oleh negara-negara tetangga.

Kita patut berterima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada 2010 berani mendorong pembangunan kekuatan TNI secara nyata. Sebab, sejak reformasi 1998 hingga 2008, anggaran bagi TNI tidak pernah mendapat perhatian signifikan.

Langkah pertama adalah menambah anggaran Kementerian Pertahanan melalui program Minimum Essential Force (MEF, kekuatan minimum terpenting) sehingga tahun 2015 anggarannya mencapai Rp 95 triliun. Meskipun kelihatan cukup besar, tetapi kalau tolok ukurnya adalah persentase terhadap produk domestik bruto (PDB), itu baru sekitar 0,85 persen; masih di bawah 2 persen yang merupakan standar internasional yang diterima secara umum. Tentu tak perlu kita sandingkan dengan anggaran militer Singapura yang rata-rata 4,7 persen dari PDB atau Malaysia yang 2,2 persen dari PDB.

Modernisasi persenjataan TNI untuk memantapkan postur tentara modern baru berlangsung menuju penyelesaian tahap pertama. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro pernah mengatakan, sampai akhir 2014 ini akan mencapai 38 persen dari nilai target MEF. Itu artinya, pada babak kedua dan ketiga  nanti yang berlangsung satu dekade berikutnya akan dikejar penyelesaian target 62 persen MEF.

Memang sempat muncul kekhawatiran, begitu ada pemerintah baru, program pembangunan TNI akan berhenti atau diganti sesuai "selera" presiden baru. Namun, ada indikasi kuat, Jokowi yang akan dilantik 20 Oktober 2014 tidak hanya akan memenuhi target MEF, juga akan membangun TNI sebagai kekuatan maritim regional yang tak hanya disegani di kawasan ini, tetapi juga di kawasan Asia Timur. Berarti, pembangunan akan ditujukan untuk jauh melebihi rencana pencapaian MEF.

Lima hal penting
Seperti ditegaskan dalam visi, misi, dan program aksi Jokowi-JK, garis besar pemerintahan baru adalah mengedepankan identitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Unsur-unsur yang penting di dalamnya antara lain kedaulatan maritim, keamanan serta kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau terdepan, dan mengamankan sumber daya alam serta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Konsekuensi dari visi dan misi tersebut, mau tak mau target-target MEF harus disesuaikan dalam bentuk rencana anggaran pertahanan multi-tahun sehingga dapat terjamin tercapainya target-target yang ditentukan. Kita harus berani melakukan terobosan, terutama dalam distribusi anggaran yang sejak awal pelaksanaan MEF lebih banyak mengedepankan asas "pemerataan" anggaran untuk ketiga matra ketimbang asas prioritas.

Ada lima hal penting di sini. Pertama, sebagai negara kepulauan, prioritas lebih besar harus diberikan ke pengembangan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI AL dan TNI AU. Kedua, pengadaan alutsista baru didasarkan perkembangan Revolution in Military Affairs (RMA) dan interoperability (kemampuan operasi lintas matra) sesuai doktrin Tri-Matra Terpadu. Ketiga, pengadaan alutsista harus lebih besar melibatkan industri pertahanan dalam negeri sesuai arahan dari Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Keempat, sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan dari perkembangan RMA yang terjadi secara amat dinamis 10 tahun terakhir ini, terutama dalam ICT (information and computer technology) di bidang persenjataan dan intelijen. Kelima, struktur organisasi TNI yang formatnya disesuaikan dengan tantangan dan penugasan masa terkini.

Konsekuensi dari penegasan pemerintah untuk integrasi negara kepulauan merupakan kesempatan emas bagi TNI AL dan TNI AU untuk menunjukkan jati diri sebagai pengawal terdepan Nusantara.

Sesuai perkembangan RMA, TNI AU sudah harus dilengkapi tak hanya dengan satu skuadron satuan drones (UAV, unmanned aerial vehicle) atau pesawat tanpa awak yang menurut rencana akan datang akhir 2014. Untuk mengawasi wilayah laut kita yang luas, jumlah UAV yang digelar harus bisa secara sekaligus dioperasikan di sekitar Laut Arafuru yang menjadi ajang penjarahan ikan yang hingga sekarang sulit diatasi, dan juga harus dioperasikan di perbatasan kita dengan Malaysia di Pulau Kalimantan untuk menghadapi penebangan liar. Juga harus beroperasi di sekitar Natuna yang berhadapan dengan Laut Tiongkok Selatan yang rawan sengketa berdimensi internasional.

Markas gabungan
Walaupun rencana penguatan ada pada TNI AL dan TNI AU, tak berarti TNI AD dan Polri akan kecil perannya. Saya memang mendengar kekhawatiran bahwa organisasi TNI AD akan diciutkan dan komando teritorial akan dihapus. Menurut pengetahuan penulis, itu isu/rumor yang tidak bertanggung jawab karena porsi pengembangan TNI AD juga akan cukup besar, termasuk pengadaan helikopter-helikopter angkut untuk mendukung pergerakan pasukan secara cepat dari satu tempat ke wilayah lain. Fleksibilitas dan mobilitas merupakan kunci penting yang mendapat perhatian besar pemerintah pada tahun-tahun mendatang   

Konsekuensi lain dari penegasan kembali negara kepulauan Indonesia itu adalah reorganisasi Markas Besar TNI dengan dibentuknya Komando Gabungan Kewilayahan sebagai perpanjangan tangan Panglima TNI di wilayah-wilayah Nusantara. Sekarang ini, sejak Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) dibubarkan tahun 1984, Panglima TNI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan militer dari Sabang hingga Merauke. Jelas ini rentang kendali yang terlalu panjang untuk dapat ditangani oleh satu orang panglima di Jakarta.

Seperti jumlah Kowilhan dahulu, Komando Gabungan Kewilayahan yang ideal jumlahnya juga empat, yang membagi habis wilayah Indonesia dalam format organisasi kerangka atau permanen, bergantung pada kesiapan SDM dan kemampuan anggaran nasional. Pengembangan kekuatan TNI tentu saja nantinya disesuaikan dengan jumlah komando itu. Umpamanya, Kostrad harus punya empat divisi infanteri, atau TNI AL punya empat armada bernomor. Begitu pula komando operasional TNI AU disesuaikan dengan kebutuhan untuk melaksanakan operasi militer di wilayah tanggung jawabnya.

Membangun angkatan bersenjata memang investasi mahal jangka panjang tanpa boleh ada pertimbangan untung-rugi yang normal. Apabila kita percaya adagium si vis pacem para bellum (jika hendak damai, bersiaplah untuk perang), keuntungan yang diperoleh adalah keamanan dan keselamatan negara dan bangsa berikut segala isinya secara optimal sehingga kerugian dalam artian konsekuensi anggaran otomatis jadi marginal.

Luhut B Pandjaitan
Jenderal TNI (Purn); Penasihat Senior Presiden Terpilih Joko Widodo

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009229610
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger