Disusul Partai Ennahda mendapatkan 69 kursi (24,4 persen), Partai Ettehad Wathani 16 kursi, Partai Koalisi Gabha Sya'biya 15 kursi, Afaq Tounes 8 kursi, serta beberapa calon independen dan 11 partai lain 24 kursi.
Di tengah pesimisme atas masa depan revolusi dan demokrasi di dunia Arab, Tunisia tampil sebagai harapan sekaligus contoh terbaik dalam transisi demokrasi. Setidaknya proses demokrasi berjalan mulus, tidak ada kudeta militer. Negara-negara Arab yang disapu angin revolusi mesti menjadikan Tunisia sebagai contoh.
Tunisia mematahkan tesis bahwa dunia Arab merupakan pengecualian dalam demokrasi (an exceptionalism). Demokrasi bisa berkembang di mana saja sejauh didukung konstitusi yang demokratis dan pelaku demokrasi yang berkomitmen terhadap demokrasi. Pertanyaannya, kenapa demokrasi di Tunisia relatif mulus dan memberi harapan bagi demokratisasi di Arab?
Ennahda
Apresiasi patut diberikan kepada Ennahda, partai pimpinan Rachid Ghannouchi. Sebagai pemenang pemilu setelah revolusi akhir Desember 2011 dengan perolehan 41 persen kursi di parlemen, Ennahda tak memonopoli kekuasaan. Ia berbagi dengan faksi sekuler dan mengangkat Moncef Marzouki, mantan aktivis hak asasi manusia dan elite Partai Kongres sebagai presiden.
Ennahda juga berhasil melahirkan konstitusi yang demokratis dengan menghapus diktum "formalisasi Syariat Islam", menegaskan pentingnya hak asasi manusia, dan menegakkan nilai-nilai kewarganegaraan.
Tunisia menjadi satu-satunya negara Arab yang di dalam konstitusinya secara eksplisit tidak menyebut formalisasi Syariat Islam. Padahal, dunia Arab pada umumnya menjadikan upaya itu sebagai isu politik. Di Mesir, diktum formalisasi Syariat Islam ditolak Gamal Abdel Nasser, tetapi diakomodasi Anwar Sadat sebagai konsesi politik dengan kelompok islamis, khususnya Ikhwanul Muslimin.
Setelah tumbangnya Hosni Mubarak, perdebatan formalisasi Syariat Islam kembali mengemuka. Rencana menghapus diktum itu kandas karena Al-Azhar dan beberapa faksi Islam mendesak agar Syariat Islam dicantumkan dalam konstitusi sebagai bagian dari identitas keislaman.
Tunisia berbeda dengan Mesir. Negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini memilih jalur demokrasi substantif dengan mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi: kesetaraan jender, pluralisme, dan hak asasi. Tunisia memilih liberal democracy daripada illiberal democracy seperti Mesir, Libya, dan Yaman.
Istimewanya, lokomotif liberal democracy tersebut adalah Ennahda yang berhaluan islamis. Sebagai partai politik dengan akar geneologis Ikhwanul Muslimin, Ennahda memilih jalan yang berbeda. Di bawah kepemimpinan Rachid Ghannouchi memilih demokrasi secara kafah. Islamisme direkonstruksi dan direvitalisasi menjadi konsep demokrasi utuh dan diformulasikan dalam konstitusi Tunisia.
Dua hal yang menjadi kunci keberhasilan Ennahda membangun demokrasi di Tunisia: Pertama, toleransi kembar (twin toleration). Tunisia di bawah rezim Ennahda menggarisbawahi pentingnya agama dan negara menjaga jarak serta melakukan intervensi satu domain atas domain yang lain. Agama tak mengintervensi kebijakan publik yang selaras dengan substansi demokrasi dan kemaslahatan publik. Sebaliknya, negara tidak mengintervensi aktivitas agama-agama. Negara menjamin kebebasan beribadah dan kebebasan berekspresi setiap kelompok agama.
Kedua, membangun konsensus dan konsultasi. Ennahda sebagai kekuatan politik terbesar di Tunisia setelah revolusi belajar dari rezim diktator Ben Ali. Ia ingin merangkul semua faksi politik meskipun basis Ghannouchi adalah kaum islamis.
Menurut Alfred Stepan dan Juan J Linz, Tunisia berhasil melewati hambatan dalam membangun demokrasi karena kubu islamis dan kubu sekuler mampu membangun konsensus melalui konsultasi dan musyawarah delapan tahun terakhir. Saat Ennahda berkuasa setelah revolusi, otomatis kubu islamis dan kubu sekuler mudah membangun koalisi. Transisi demokrasi yang kondusif di Tunisia ini tidak terjadi di Mesir karena ketidakmampuan kubu islamis dan kubu sekuler membangun konsensus sehingga militer mengambil alih (Journal of Democracy, 2013).
Puncaknya, saat kalah telak dalam pemilu Oktober 2014, Ennahda menerima kekalahan dengan elegan. Ennahda menganggapnya sebagai konsekuensi kegagalan dalam memerintah sehingga publik memilih Partai Nidaa Tounes yang berhaluan liberal untuk berkuasa.
Di sini, kubu islamis sangat determinan menentukan masa depan demokrasi di dunia Arab. Jika kubu islamis tidak mampu membangun liberal democracy, dunia Arab akan masuk dalam kubangan kehancuran, apalagi kelompok islamis menggunakan cara-cara ekstrem dalam meraih kekuasaan. Pengalaman Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) menjadi pelajaran berharga karena kegagalan dalam membangun demokrasi akan menjadikan negara berada di tangan kaum ekstremis.
Harapan
Tunisia membuka cakrawala politik dunia Arab bahwa demokrasi bukan utopia. Slogan "Islam sebuah solusi" tak mampu menggagalkan isu-isu substantif, seperti penanggulangan kemiskinan, pemerintahan bersih, dan reformasi birokrasi. Publik Tunisia terlihat lebih dewasa dalam memaknai politik dan tidak mudah terkecoh retorika kaum islamis.
Kemenangan Nidaa Tounes juga tidak bisa dilepaskan dari trauma atas NIIS yang menyebabkan publik sangat hati-hati dengan kelompok serupa. Perubahan di Tunisia sangat tergantung dari sejauh mana partai pemenang pemilu mampu menerjemahkan liberal democracy dalam kebijakan langsung ke publik.
Bagi Ennahda, kekalahan dalam pemilu bukan akhir dari sejarah. Mereka dapat menjadi oposisi yang efektif di parlemen sembari mereformasi internal.
Dalam konteks keindonesiaan, saatnya pemerintah membangun hubungan bilateral yang lebih intensif dengan Tunisia. Indonesia dan Tunisia dapat menyuarakan kepada dunia bahwa Islam dan demokrasi tidak bertentangan dalam memperkuat demokrasi.
Zuhairi Misrawi Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah The Middle East Institute
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009936623
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar