Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 November 2014

Kepeloporan Kaum Muda (Suhardi Suryadi)

MEMPERINGATI Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober lalu, Kementerian Pemuda dan Olahraga memberi penghargaan kepada Triati dari Desa Mangunan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai salah satu pemuda pelopor tingkat nasional.
Triati terpilih karena nilai lebih kepeloporannya, yaitu mengolah pangan berbahan lokal berupa tiwul yang semula tak "bernilai" menjadi berkualitas dan berharga melalui perbaikan cita rasa. Dari sisi jenis makanan (tiwul) mungkin tak istimewa, te- tapi yang luar biasa nilai-nilai yang mendasari kepeloporannya.

Tiwul yang kerap diasosiasikan makanan rakyat miskin di pedesaan diupayakan agar dikonsumsi masyarakat kelas menengah pada umumnya. Di tingkat makro, upaya Triati sangat penting dalam mendorong produk pangan lokal dapat eksis di tengah serbuan pelbagai jenis fast dan junk-food. Terlebih lagi  tiwul juga bermanfaat bagi peningkatan pendapatan petani singkong.

Kepeloporan ataupun keteladanan seseorang pada hakikatnya muncul dan tumbuh secara alami atas dasar kesadaran dan kepedulian atas situasi sosial tertentu. Apa yang dilakukan tidak melihat ke atas dalam arti meniru atau mengikuti orang lain. Tujuan kepeloporan semata-mata untuk melakukan perubahan sosial, bukan mencari penghargaan. Kalaupun ada penghargaan, ini hanya dilihat sebagai berkah. Dengan demikian, ada penghargaan atau tidak, kepeloporan tidak akan berhenti.

Fakta sejarah menunjukkan, tumbuh dan berkembangnya negara Indonesia pada dasarnya bagian dari kontribusi kepeloporan pemuda dari segala ras, ideologi, dan agama. Memang ada sejumlah perbedaan dalam bentuk kepeloporan mereka karena ketidaksamaan konsep yang dirangsang oleh tantangan dan kebutuhan zaman. Artinya, kepeloporan kaum muda senantiasa dibentuk oleh kebutuhan dan panggilan zaman.

Setidaknya ada empat bentuk kepeloporan pemuda dalam perkembangan sejarah negeri ini. Pertama, era pra-kemerdekaan. Kepeloporan kaum muda, terutama di kalangan elite sejak 1917, tumbuh karena adanya tuntutan hendak meraih kemerdekaan. Konstruksi sosial dalam era itu mencakup pemuda intelektual berpendidikan Barat, pemuda klerk di kalangan menengah-bawah, serta pemuda buruh dan tani yang terpinggirkan.

Kedua, zaman revolusi. Tumbuhnya kepeloporan pada masa revolusi dilatarbelakangi panggilan zaman, yaitu mempertahankan kemerdekaan yang konstruksi sosialnya diwujudkan melalui radikalisasi dalam bentuk kelaskaran, dan akhirnya militer.

Ketiga, setelah kemerdekaan.  Kepeloporan kaum muda yang berkembang adalah kebutuhan membangun bangsa karena kegiatan bisnis yang menghasilkan pemuda-pemuda bisnis merupakan bentuk konstruksi sosialnya.

Keempat, masa Demokrasi Terpimpin. Wujud kepeloporan pemuda pada era itu adalah bayangan akan revolusi abadi dengan konstruksi sosial yang antara lain termanifestasi dalam radikalisasi pemuda dan character building versi revolusi.

Abad ke-21
Sementara kepeloporan kaum muda di era reformasi dan abad ke-21 telah menjungkirbalikkan semua sistem rekayasa pembangunan kepemudaan. Bahkan, dapat dikatakan konsep pengembangan kepeloporan ada dalam konteks global yang mencuatkan semangat etnonasionalisme.

Dalam konteks kekinian, kepeloporan pemuda, seperti kasus Triati, tumbuh untuk menjawab soal liberalisasi pembangunan ekonomi nasional yang memarjinalkan produk lokal dan nasional. Hal inilah yang penting untuk ditumbuhkembangkan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo, yakni kepeloporan pemuda dalam konteks kemandirian ekonomi. Keberhasilan dalam melipatgandakan dan memperluas kepeloporan kaum muda dalam kemandirian ekonomi tak pelak akan menciptakan kelas menengah yang produktif, baik bagi diri sendiri maupun untuk lingkungan komunitasnya.

Tentunya tidak mudah mewujudkan hal itu jika (a) Menteri Pemuda dan Olahraga bergantung sepenuhnya pada staf teknokrat yang kurang menguasai akar masalah dalam merumuskan kebijakan dan program kepemudaan.  Pendekatan matematis dalam pengembangan kepemudaan terbukti gagal.  Seakan-akan memberi pelatihan dan penghargaan dengan serta-merta dapat menumbuhkan ribuan pemuda pelopor. (b) Menteri Pemuda dan Olahraga tak bisa mengoordinasi bagian-bagian dalam unit kerja kementerian yang memiliki fung- si saling mendukung dan tak mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk pengembangan kepemudaan. (c) Menteri Pemuda dan Olahraga gagal membangun hubungan efektif dan fungsional, baik dengan kementerian terkait maupun wali amanah (stakeholder), dalam rangka percepatan pembangunan kepemudaan pada umumnya dan kepeloporan khususnya.

Dengan demikian, lahirnya  kepeloporan kaum muda tidak harus ditunggu setiap tahun melalui Hari Sumpah Pemuda, tetapi dapat tumbuh setiap waktu dan di mana pun menurut kondisi dan kebutuhan. Jika masih memerlukan dan menanti kehadiran pe- muda pelopor bertepatan peringatan Hari Sumpah Pemuda, celakalah bangsa ini karena itu berarti terdapat jutaan pemuda yang tak bermutu di negeri ini.

Suhardi Suryadi 
Direktur Program Prisma Resource Center


Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009873715
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger