Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 03 November 2014

Membelah Indonesia (Masdar Hilmy)

"If you win the battle of minds, you win the battle of politics…"

(Manuel Castells, "The Power of Identity", 1997:12)

 

HARI-hari ini politik di gedung parlemen menjadi sangat reduktif dan distortif. Panggung politik jadi pertarungan saling menegasi dan mengalahkan melalui permainan zero-sum-game di antara dua kubu: Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat.
Seolah tiada kosakata lain di jagat politik parlemen kecuali memenangi pertarungan. Sejak dilantik pada 1 Oktober lalu, hampir tak ada aktivitas signifikan yang mampu melahirkan gagasan besar di kalangan anggota DPR kecuali perebutan kursi kekuasaan. Akibatnya, belum satu pun dari ketiga fungsi pokok anggota DPR—legislasi, pengawasan, dan budgeting—yang tersentuh.

Pada awalnya adalah polarisasi atau keterbelahan: keterbelahan realitas politik, keterbelahan pemerintahan, dan keterbelahan peta politik di gedung parlemen. Ironisnya, potret keterbelahan ini sama sekali tidak merepresentasikan keterbelahan di masyarakat. Jika mau jujur, masyarakat sudah melupakan pertarungan pilpres tempo hari. Bahkan, mereka terlihat larut dalam euforia pelantikan Jokowi sebagai presiden. Ini mengirimkan pesan: pertarungan politik di tingkat elite belum tentu kongruen dan ekuivalen dengan kehidupan sehari-hari di akar rumput.

Dramaturgi politik
Dalam derajat tertentu, perhelatan politik di parlemen merupakan miniatur dari perhelatan politik di tingkat negara-bangsa. Idealnya, tiap persoalan yang muncul di tingkat kebangsaan dan kenegaraan dianalisis, diurai, dan diselesaikan di gedung parlemen. Setiap produk politik parlemen kemudian dilaksanakan oleh jajaran eksekutif di tingkat praksis. Gedung parlemen beserta segala atribut dan aktivitas politiknya, dengan demikian, merupakan laboratorium bersama untuk membahas berbagai persoalan penting menyangkut kehidupan berbangsa-bernegara dalam pengertian luas.

Namun, yang terjadi tidak demikian. Antara gedung parlemen dan kehidupan berbangsa-bernegara seakan tak saling bersahutan. Masing-masing berjalan sesuai skenario yang berbeda. Persis seperti panggung drama. Kedua panggung menyediakan skenario atau alur cerita yang saling berlainan. Meminjam konstruk teoretik Erving Goffman dalam karyanya, Presentation of Self in Everyday Life (1959), panggung tersebut masing-masing tidak saling berhubungan, bahkan terkadang bertolak belakang.

Goffman menggunakan istilah panggung depan (front-stage) dan panggung belakang (back-stage) untuk menggambarkan dua pola perilaku yang berbeda. Pada panggung depan, seorang individu cenderung memperagakan perilaku yang tidak otentik alias kamuflase, palsu, dan menipu. Namun, kepalsuan yang dia pertontonkan ditujukan semata-mata untuk memuaskan emosi para penonton. Dengan kata lain, di panggung depan seseorang tidak menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadi orang lain.

Begitu kembali ke panggung belakang, dia pun kembali ke asalnya. Dia melepas seluruh peran dan atribut teatrikal yang telah dimainkan dan kembali ke identitas kedirian yang otentik. Tidak ada lagi kepura-puraan, tiada lagi permainan peran. Di panggung belakang kehidupan tidak bisa dimanipulasi. Semua berjalan asli, alami, dan tanpa basa-basi. Artinya, seseorang di panggung belakang selalu memperlihatkan keotentikannya.

Paralel dengan analisis Goffman di atas, panggung politik parlemen merupakan panggung depan yang tak jarang memperlihatkan kepalsuan-kepalsuan. Identitas kedirian yang dipertontonkan di panggung depan sering kali tidak mewakili identitas kedirian yang sesungguhnya. Para elite politik di gedung parlemen memang paling sering berbicara mewakili rakyat, tetapi apa yang diperagakan sering kali tidak nyambung dengan realitas kehidupan yang sebenarnya. Sepak terjang para elite politik kita sering kali tidak menyahuti kebutuhan rakyat kebanyakan. Intinya, ada keterputusan peran antara gedung parlemen dan kehidupan berbangsa-bernegara yang sesungguhnya.

Memenangi pertarungan
Sebagaimana banyak digambarkan sejumlah pengamat, kondisi politik kita tengah mengalami keterbelahan. Kondisi keterbelahan ini, konon, berawal dari pertarungan dua calon presiden pada pilpres tempo hari, yang akhirnya dimenangi pasangan Jokowi-JK. Pertarungan dua kubu ini kemudian berlanjut di gedung parlemen antara pendukung Prabowo melalui KMP dan pendukung Jokowi-JK melalui KIH.

Jika melihat nama yang digunakan sebagai identitas kelompok, mestinya tiap koalisi memperlihatkan etika dan kinerja politik yang selaras dan senapas dengan nama-nama yang diusung. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya: kubu masing-masing bertarung memperebutkan hal- hal yang menggerus nama-nama tersebut. Bahkan, terdapat kecenderungan pelecehan terhadap nama-nama yang disandangnya. Nama-nama tersebut jelas terlalu agung untuk dikerdilkan sekadar pertarungan di antara dua kubu untuk memperebutkan kursi jabatan, kekuasaan, dan kepentingan jangka pendek. 

Dengan demikian, pertarungan yang berkecamuk di gedung parlemen bukanlah pertarungan melawan kejahatan dan musuh bersama. Bukan pula pertarungan untuk memenangi hati dan pikiran rakyat. Tapi pertarungan picik melawan diri mereka sendiri. Sungguh pertarungan di antara keduanya tidak memberikan manfaat apa pun bagi rakyat, kecuali kerugian demi kerugian.

Para elite politik tampaknya perlu disadarkan bahwa mereka telah salah memaknai dan mengidentifikasi "musuh". Musuh sejati para elite politik di parlemen bukanlah sesama anggota parlemen, tetapi berbagai persoalan yang tengah membelit bangsa ini: korupsi, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan semacamnya. Mestinya tiap-tiap kubu koalisi bertarung di tingkat gagasan untuk melahirkan solusi cerdas agar bangsa ini mampu mengatasi berbagai persoalan dimaksud. Bagaimana kehadiran mereka dapat membawa Indonesia lebih baik jika energi mereka dihabiskan untuk bertarung atas hal-hal kecil?

Jika dalam jangka panjang mereka menghabiskan masa kerjanya hanya untuk saling memenangi pertarungan, bisa dipastikan mereka akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Jika mereka tidak mengubah haluan, pada saatnya nanti parpol akan ditinggalkan masyarakat. Sikap dan perilaku mereka jelas merugikan negeri ini. Keterbelahan politik, dalam tataran ekstrem, dapat membelah bangsa ini. Keterbelahan politik sudah pasti menghambat kinerja pemerintah dan jajaran kabinetnya.

Oleh karena itu, keterbelahan politik di parlemen harus segera diakhiri dan disublimasikan ke dalam pertarungan yang elegan, yakni pertarungan di tingkat gagasan untuk memenangi hati dan pikiran rakyat. Jika keterbelahan politik merupakan realitas yang harus diterima, tiap kubu harus mempertontonkan jual-beli argumen untuk membuat Indonesia lebih baik. Sebagaimana ditegaskan Manuel Castells, seperti dikutip di awal tulisan ini, Anda akan memenangi pertarungan politik jika Anda memenangi pertarungan di tingkat gagasan.

Masdar Hilmy
Wakil Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009822676
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger