Tantangan memang besar antara lain menyelesaikan masalah komunikasi, khususnya infrastruktur telekomunikasi, agar seluruh bangsa Indonesia bisa terhubung secara luas dan cepat. Termasuk di dalamnya pengaturan frekuensi agar dapat dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Banyak masalah yang ditinggalkan Menkominfo lama, yang sebelum mengakhiri masa tugasnya dengan bangga mengatakan bahwa Kementerian Kominfo berhasil memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 13,59 triliun pada 2013. Jumlah itu memang tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah Kominfo. Namun, upaya mengejar PNBP ini pula yang tampaknya dijadikan alasan untuk secara cepat dan terkesan tergesa-gesa memberikan izin penggunaan frekuensi bagi penyelenggara penyiaran multiplexing/digital tepat saat akhir masa jabatannya. Kristiawan menyebutnya "Manuver di Ujung Kuasa" (Kompas, 30/8).
Sebagai gambaran dan contoh, di industri telekomunikasi ini, berdasarkan D & A Valuation Firm (2013), terdapat 10 operator seluler besar. Telkomsel/Telkom, Indosat, dan XL Axiata adalah yang terbesar, yang pada 2010 menguasai sekitar 160 juta dari 180 juta pelanggan atau sekitar 88 persen penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, Telkom/Telkomsel memiliki sekitar 95 juta pelanggan (Telkom 13 juta dan Telkomsel 82 juta). Pendapatan dalam bisnis ini sekarang sudah menembus angka Rp 100 triliun.
Lantas siapa pemiliknya? Indosat dimiliki asing (Qtel) 65 persen, pemerintah 14,29 persen, dan publik 20,71 persen. Adapun XL Axiata dimiliki asing (Axiata Investments) 66,485 persen dan publik 33,515 persen. Kemudian Telkom dimiliki oleh pemerintah 53,14 persen dan publik 46,86 persen (publik asingnya 38 persen). Sementara Telkomsel dimiliki Telkom (65 persen) dan Singtel (35 persen).
Tampak dengan jelas, meskipun jalan berputar, asing mendominasi industri telekomunikasi Indonesia. Jadi, rasanya tak perlu terlalu berbangga diri dengan PNBP yang relatif besar karena pendapatan terbesar akhirnya lari ke luar negeri.
Saya sangat percaya bahwa Menkominfo yang baru sangat memahami persoalan industri ini. Membangun infrastruktur dengan cepat, meluas, dan berkecepatan tinggi itu penting, tetapi harus diimbangi dengan pendapatan negara yang tinggi. Namun, kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan.
Tanpa sistem yang jelas
Lantas bagaimana dengan penyiaran? Dalam visi dan misinya sebagai calon presiden-calon wakil presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla menyatakan akan menata kembali frekuensi penyiaran yang merupakan hajat hidup orang banyak sehingga tak terjadi monopoli atau penguasaan oleh sekelompok orang (kartel) di industri penyiaran.
Saat ini dunia penyiaran berjalan tanpa sistem yang jelas. Pasar bergerak liar, yang kuat menjadi lebih kuat. Kepemilikan dan isi media terkonsentrasi. Televisi dikuasai segelintir orang. Sistem berjaringan tidak berjalan karena para pemilik lebih menikmati pola konsentrasi dan sentralisasi.
Sementara lembaga penyiaran publik, seperti RRI dan TVRI, tidak mendapat perhatian yang memadai. Demikian juga penyiaran komunitas banyak yang mati karena tidak punya frekuensi dan dukungan negara.
Menurut sementara pihak terdapat lubang regulasi yang dimanipulasi untuk akumulasi kapital dan penguasaan media. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ini adalah masalah implementasi norma, masalah penegakan hukum. Apabila dalam sistem otoriter pada era Orde Baru, media—khususnya media elektronik—dikuasai dan dikontrol pemerintah dan negara, kini dikuasai kapital bermodal besar.
Belanja iklan media 2013 sekitar Rp 124 triliun, sebagian besar diserap media elektronik: TV 60 persen dan radio 0,2 persen (Harris Thajeb, 2013). Sepuluh stasiun televisi yang berpusat di Jakarta menikmati belanja iklan ini. Market share-nya dalam persentase: TransTV (17,5), RCTI (15,1), SCTV (14,2), MNC-TV (9,9), Indosiar (5), Trans7 (8), ANTV (7), GlobalTV (6,2), TVOne (5,1), dan MetroTV (2,6) (AC Nielsen, 19-25 Januari 2014).
Pada 18 September 2014, sebelum kabinet baru terbentuk, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang terdiri atas sembilan organisasi masyarakat sipil menuntut Menkominfo atas perbuatan melawan hukum yang membiarkan terjadinya pemusatan kepemilikan di lembaga penyiaran swasta. Menurut KIDP, seharusnya tak boleh seseorang atau satu badan hukum punya lebih dari satu stasiun televisi di satu provinsi. Sekarang yang terjadi bahkan sampai tiga di satu provinsi.
Pada 30 Oktober, KIDP kembali mengajukan gugatan kedua kepada Menkominfo karena mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 32 Tahun 2013 tentang Digitalisasi yang dianggap cacat hukum. Itu karena, antara lain, tetap mengakui keputusan berdasarkan Permen No 22/2011 tentang Digitalisasi yang telah dibatalkan MA. Permen No 32/2013 membagi Indonesia berdasarkan jumlah provinsi, sementara Permen No 22/2011 membaginya menjadi 15 zona.
Kontroversi tentang digitalisasi televisi ini terus berlanjut dengan keberanian menteri lama mengeluarkan Kepmen 729 dan 730 pada 25 Juli 2014. Pada akhir jabatannya, ia melepas frekuensi untuk penyelenggaraan penyiaran multiplexing. Banyak pihak, termasuk DPR , meminta penyelenggaraan digitalisasi televisi dilakukan berdasarkan UU. Yang dilakukan saat ini bertentangan dengan UU, menguntungkan yang besar dan melanggengkan konsentrasi.
Semua ini adalah tantangan yang berat dan tidak mudah bagi Menkominfo yang baru. Kita meminta pemerintahan baru menjalankan visi dan misinya untuk kehidupan komunikasi dan media yang lebih baik. Semoga!
Amir Effendi Siregar Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009914624
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar