Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 05 November 2014

TAJUK RENCANA Ancaman Inggris dan Uni Eropa (Kompas)

KEGUSARAN dan kejengkelan kembali disuarakan Kanselir Jerman Angela Merkel menyusul ancaman baru Inggris untuk keluar dari Uni Eropa.
Ancaman Inggris keluar dari UE beberapa kali menyeruak ke permukaan dan kian menguat menyusul pernyataan Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk melangsungkan referendum akhir 2017 jika partainya menang pada Pemilu 2015. Referendum akan jadi penentu apakah Inggris akan tetap bertahan atau keluar dari UE.

Kali ini, isu penolakan UE untuk membatasi mobilitas imigran UE di kawasan UE jadi alasan Inggris mengancam keluar dari UE. Banyak kalangan melihat Cameron tengah melakonkan permainan berbahaya dengan mempertaruhkan masa depan negaranya. Keluarnya Inggris dari UE bukan hanya akan merugikan UE, melainkan juga Inggris sendiri. Dengan keluar dari keanggotaan UE, Inggris akan kehilangan pengaruh dan pamor yang sekarang ini dimilikinya sekaligus akses bebas ke pasar raksasa UE.

Manuver Inggris tampak tak sepenuhnya didasari pertimbangan rasionalitas politik atau untung rugi ekonomi, tetapi dipicu ketidaksukaan pada birokrat UE di Brussels yang dianggap terlalu kuat dan mengancam kedaulatan Inggris. Lewat media sayap kanannya, kelompok pro pemisahan di Inggris kerap berusaha membangkitkan ketakutan publik lewat komentar sensasional seolah ada agenda besar UE untuk mencaplok kedaulatan Inggris.

Argumen yang mendasari Inggris harus keluar dari UE: seluruh UE saat ini tengah bergulat dengan krisis utang yang membuat dinamika integrasi Eropa juga berubah. Kekhawatiran mereka, krisis akan membuat integrasi jadi semacam proyek inward-looking yang mengharuskan dibuatnya berbagai regulasi baru di sektor finansial untuk mewujudkan penyatuan moneter UE sepenuhnya.

Semua aturan baru ini dianggap akan mengancam kepentingan London sebagai pusat keuangan dunia dan ekonomi Inggris secara keseluruhan. Menurut mereka, penguatan euro hanya bisa dilakukan dengan memberikan kekuasaan lebih besar pada lembaga-lembaga UE, dan itu berarti akan mengancam keberadaan parlemen dan Pemerintah Inggris sebagai representasi sah rakyat Inggris.

Dalam kenyataannya, ketakutan ini terlalu dibesar-besarkan dan sengaja ditiupkan kelompok minoritas di Partai Konservatif yang ingin Inggris keluar dari UE. Hubungan Inggris-UE tak bisa dibilang mesra meski dua pendahulu Cameron—Thatcher dan Major—ikut berperan dalam terbentuknya pasar bersama UE dan Perjanjian Maastricht.

Di kalangan publik Inggris sendiri, UE bukan isu yang terlalu menonjol. Hanya 6 persen responden dalam survei pemilih 2013 berpendapat isu UE sebagai isu paling krusial. Sebanyak 67 persen lebih mencemaskan soal ekonomi, 35 persen soal pengangguran, serta hanya 20 persen mencemaskan isu imigrasi dan ras yang kini dimainkan Cameron. Siapkah Inggris dengan risiko kerugian ekonomi dan teralienasi di tengah pamor dan pengaruhnya yang mulai redup?

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009893897
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger