Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 07 November 2014

TAJUK RENCANA: ”Blusukan” Versus Pencitraan (Kompas)

BLUSUKAN, gaya dan cara kerja khas Presiden Joko Widodo, ditiru dan dilakukan Kabinet Kerja. Ini demi efektivitas dan efisiensi, bukan pencitraan.
Hari-hari ini kita saksikan, sering sambil tersenyum geli bertanya-tanya: apakah itu bawaan otentik mereka? Demi popularitas, demi pencitraan, atau demi yang seharusnya bagian dari pencarian gaya memerintah nonbirokratis? Langkah sederhana dan awal revolusi mental.

Gaya-gaya itu unik, seperti loncat pagar, bicara merakyat, bertingkah nyeleneh, marah-marah kepada petugas di lapangan. Kita asumsikan semua itu untuk mencari dan memperoleh data dan kondisi rakyat dari tangan pertama. Gaya itu bukan teatrikal, melainkan demi mendapat data asli sebagai awal dan bagian utuh dalam menyusun program dan praksis kementerian masing-masing.

Sama-sama membelusuk, sama-sama menyurukkan diri ke lapangan, blusukan pejabat pemerintah berbeda dengan calon anggota DPR atau calon pejabat. Bentuk yang kedua lebih banyak dilakukan demi pencitraan. Sebaliknya bentuk pertama. Blusukan gaya Jokowi jauh dari pamrih cari muka dan pencitraan, tetapi keinginan melihat dan mengenal kondisi masyarakat apa adanya. Jadi intensi, cara, dan gayanya otentik, alamiah.

Dulu pernah populer kosakata sidak, inspeksi mendadak. Pernah populer nama Sidik dengan tokohnya JB Sumarlin. Berkat sidak, banyak petugas di lapangan tertangkap tangan melakukan kecurangan atau kelalaian. Pamrihnya mengikis laporan asal bapak senang (ABS). Serupa seperti blusukan bentuk pertama, sidak tidak dimaksud pencitraan kecuali semata-mata demi efektivitas dan efisiensi.

Blusukan bentuk pertama dan sidak merepresentasikan sikap dan cara kerja pemerintah itu, bukan pangreh, melainkan servus servorum (abdi dari para abdi masyarakat). Seorang birokrat tidak lagi memerintah dari belakang meja, tetapi turun langsung, membedol masalah tidak dari permukaan, tetapi dari bawah permukaan.

Blusukan perlu ditindaklanjuti dalam kebijakan dan keputusan menyangkut kepentingan publik. Ketika publik adalah fokus dan subyek, sumber dan tujuan kebijakan publik—taruhlah berbagai kebijakan yang berorientasi option for the poor, janji-janji selama blusukan perlu direalisasi. Itulah faktor yang membedakan blusukan model kampanye dengan blusukan gaya birokrat pejabat.

Gaya omong doang (omdo) dan berwacana sudah lewat. Laporan ABS tidak laku. Agar terbebas dari sasaran empuk pesaing, aksi nyata, walaupun untuk memenuhi janji kampanye, perlu dilengkapi langkah strategis dan inisiatif, termasuk infrastruktur, sarana, dan urusan legalitasnya.

Kita harapkan blusukan yang jauh dari pamrih pencitraan anggota Kabinet Kerja, menjadi bentuk pragmatisme politik: meninggalkan praksis birokratis dan keindahan berwacana. Syaratnya, wujudkan segera janji dan pakailah pengalaman dan pengetahuan tentang kondisi lapangan sebagai bagian utuh kebijakan publik.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009934467
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger