Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Desember 2014

Jalur Sutra Maritim (CPF Luhulima)

PADA  East Asia Summit IX di Naypyidaw, Myanmar, 13 November 2014, Presiden Joko Widodo mencanangkan agenda pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia ini dengan lima pilar utama.
"Pertama, kami akan membangun kembali budaya maritim Indonesia. Sebagai negara yang terdiri dari 17.000 pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya, sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola samudra.

Kedua, kami akan menjaga dan mengelola sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Kekayaan maritim kami akan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat kami.

Ketiga, kami akan memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.

Keempat, melalui diplomasi maritim, kami mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama di bidang kelautan ini. Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Laut harus menyatukan, bukan memisahkan, kita semua.

Kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudra, Indonesia memiliki kewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim. Hal ini diperlukan tidak hanya untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab kami dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim."

Kelima pilar di atas ini menjadi fokus pembangunan Indonesia pada abad ke-21. Indonesia akan menjadi poros maritim dunia, kekuatan yang mengarungi dua samudra, sebagai bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa.

Apabila kita bandingkan dengan niat Tiongkok membangun Jalur Sutra yang bertujuan menyelidiki nilai-nilai dan konsep jalur kuno itu, memperkayanya dengan arti baru bagi masa kini dan depan. Selain itu, Tiongkok juga mengembangkan kemitraan ekonomi dengan negara-negara sepanjang jalur itu serta mengintegrasikan kerja sama pada masa kini dan masa depan sepanjang jalur laut menuju ke saling keberuntungan. Kedua kebijakan Tiongkok ini dan Indonesi,  dapat dilihat sebagai kebijakan yang sejajar yang dapat ditransformasikan menjadi kebijakan yang saling melengkapi.

Laut adalah dasar dan wahana untuk membangun Jalur Sutra Maritim kendatipu jalur darat juga dibangun kembali untuk pertukaran barang, teknologi, dan pengetahuan. Lautan adalah sumber daya bagi pembangunan berkelanjutan. Tiongkok perlu membuka daerah-daerah pantai dan mendorong pembangunan konektivitas dengan negara-negara tetangga dekat dan jauh.

Jalur Sutra ini akan mulai dari pelabuhan-pelabuhan Tiongkok melalui Laut Tiongkok Selatan (LTS), Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok menuju ke Teluk Parsi, Laut Merah, dan Teluk Aden menuju Eropa melewati Lautan Hindia. Jalur ini akan meluas dari Asia ke Afrika Timur dan Asia Barat dan Eropa dan akan bergantung terutama kepada negara-negara ASEAN.

Pembangunan Jalur Sutra Maritim abad ke-21 ini ditopang dengan pendanaan melalui pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), yang sudah ditandatangani oleh 21 negara, termasuk sembilan negara
ASEAN minus Indonesia, Banglades, Tiongkok, India, Kazakhstan, Kuwait, Mongolia, Nepal, Oman, Pakistan, Qatar, Sri Lanka, dan Uzbekistan.

Dengan demikian, jalur sutra ini merupakan suatu jalur yang bertumpang tindih dengan poros maritim Indonesia. Indonesia juga ingin Samudra Hindia dan Samudra Pasifik tetap damai dan aman bagi perdagangan dunia dan bukan ajang perebutan sumber daya alam, pertikaian wilayah, dan supremasi maritim. Karena itu, "Indonesia mengusulkan penguatan prioritas area kerja sama maritim di E(ast) A(sia) S(ummit). Kami mendorong negara mitra ASEAN di EAS untuk mendukung dan terlibat aktif dalam mewujudkan ASEAN Masterplan on Connectivity, khususnya konektivitas dan infrastruktur maritim." Kerja sama yang lebih erat ini juga disarankan di bidang keamanan laut, khususnya LTS dengan menyelesaikan code of conduct yang sudah berlarut-larut upaya penataan di wilayah yang dipersengketakan ini.

Pembangunan Jalur Sutra Maritim Tiongkok melintasi LTS merupakan kebijakan yang menguntungkan bagi Indonesia untuk mentransformasikan sengketa di LTS menjadi kegiatan yang konstruktif bagi kelancaran lalu lintas di perairan ini.

MSR
Keputusan Presiden Tiongkok Xi Jinping mengumumkan "Maritime Silk Road (MSR) of the 21st Century" di Indonesia menunjukkan betapa pentingnya ASEAN dalam inisiatif ini. Inisiatif MSR ini akan sangat meningkatkan konektivitas maritim, keja sama di bidang pelabuhan dan perdagangan maritim.

Intinya, MSR bisa dimanfaatkan untuk mentransformasikan sengketa di LTS ini dan memudahkan transformasi DOC jadi COC sebagai instrumen untuk menurunkan sampai serendah mungkin ketegangan yang sampai kini mengancam keamanan pelayaran. Dengan demikian, setiap usaha Tiongkok untuk tetap mereklamasi tanah di LTS bertentangan dengan inisiatif ini.

Indonesia dapat mensyaratkan bahwa kerja sama dan keterlibatan Indonesia untuk ikut serta dalam pembangunan Jalur Sutra Tiongkok ini dibergantungkan pada penyelesaian secepatnya Code of Conduct for the South China Sea, dan kedua, penempatan Asian Infrastructure Investment Bank untuk membiayai pembangunan MSR di Jakarta. Indonesia dapat memanfaatkan AIIB ini untuk bantu membiayai pembangunan "poros" maritim Indonesia. Namun, kita menuntut agar AIIB ditempatkan di Indonesia untuk mengurangi sikap asertif Tiongkok dalam membangun Jalur Sutranya melampaui wilayah kita.

Laut adalah dasar dan wahana pembangunan "Poros Maritim Indonesia" atau mungkin lebih tepat "Jalur Maritim Indonesia" sebagai landasan budaya maritim "yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya,  sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola samudra" harus dilakukan berlandaskan kekayaan ekosistem laut Indonesia menuju pengembangan ekonomi maritim serta keamanan dan kedaulatan di laut.

Namun, membangun Indonesia maritim berarti terutama juga pengembangan ekosistem laut dengan memperhatikan keberagaman hayati, kelimpahan dan distribusi biota, serta pola mobilitas biota itu. Pengembangannya harus dilakukan dengan memperhatikan pula potensi biota laut, coastal management, dan terutama pula waste management. Pengabaian ekosistem laut dapat merusak isi laut Indonesia.

Potensi biota laut itu menuntut pengelolaan yang baik bagi pengembangan ekonomi maritim yang menuntut coastal dan waste management yang berkelanjutan, pengembangan potensi mineral, termasuk migas, laut untuk menyejahterakan masyarakat, dan tak hanya masyarakat pesisir. Laju pemanfaatan SDA terbarukan (seperti perikanan, mangroves, terumbu karang, dan sumber daya alam hayati laut lain) jangan melebihi kemampuan pulih dari SDA itu.

CPF Luhulima
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik, LIPI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010425925
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger