Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 10 Desember 2014

TAJUK RENCANA: Kanker Bernama Korupsi (Kompas)

INDEKS  persepsi korupsi Indonesia 2014 versi Transparency International Indonesia dilaporkan membaik.
Berdasarkan hasil survei Transparency International Indonesia (TII), Indonesia berada di peringkat ke-107 dengan indeks 34. Tahun 2013, posisi Indonesia ada di peringkat ke-114 dengan indeks 32. Seperti ditulis harian ini, rata-rata indeks korupsi dunia (175 negara) adalah 43, sedangkan rata-rata ASEAN di angka 39.

Kita bersyukur adanya perbaikan persepsi korupsi. Namun, kita tidak boleh lengah. Seperti dikatakan peneliti TII, Wahyudi Thohary, "Memang ada perbaikan, tetapi belum signifikan. Tren korupsi masih."

Peringatan Wahyudi masuk akal dan itu dibuktikan dengan laporan tahunan Badan Pemeriksa Keuangan yang menunjukkan tren penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara masih besar. Salah satu indikasinya adalah penyalahgunaan perjalanan dinas dan anggaran lain.

Korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangi. Salah satu hal yang membuat masyarakat galau adalah gejala korupsi yang melibatkan suami istri serta anggota keluarga. Korupsi tidak hanya melibatkan penyelenggara negara, tetapi juga akademisi. Sejumlah rektor perguruan tinggi terlibat dalam kasus korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Wali Kota Palembang Romi Herton beserta istrinya atas tuduhan menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Pada tempat lain dan urusan korupsi lain, KPK menangkap Bupati Karawang Ade Swara beserta istrinya. Mereka semua ditahan oleh KPK. Pada kasus lain, KPK masih menyelidiki keterlibatan anggota keluarga dari Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Inilah gejala baru korupsi di Indonesia. Melibatkan orang dekat, bahkan keluarga! Sebagai gejala sosial, situasi ini mempertontonkan bahwa korupsi berupa kanker ganas yang kini melibatkan keluarga. Keluarga, yang selama ini diasumsikan sebagai benteng moral mencegah korupsi, telah runtuh dengan keterlibatan suami-istri dalam praktik tercela. Kita tak ingin hal itu menjadi tren baru korupsi.

Gejala korupsi ini mengingatkan sebuah pepatah Tiongkok, "Segala kebaikan dan keburukan berasal dari rumah". Rumah dalam arti bukan sebuah bangunan atau gedung, melainkan tempat pembelajaran dan tempat bersemainya nilai moral yang luhur. Di sinilah faktor pendidikan, termasuk pendidikan anti korupsi, dalam keluarga ataupun di sekolah menjadi penting untuk mencegah generasi baru, yakni generasi korupsi.

Saatnya kita memikirkan strategi pemberantasan korupsi yang holistik. Penindakan hukum yang memberikan efek jera diperlukan, aspek pencegahan dengan pendekatan sistem harus dilakukan, dan pendekatan kultural melalui pendidikan tak boleh dilupakan. Perang melawan korupsi haruslah menjadi perang semesta dengan multipendekatan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010574749
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger