Bambang Widjojanto (BW) diduga telah menganjurkan saksi memberi keterangan yang tidak benar alias palsu di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Tuduhan itu cukup mengejutkan karena kasus ini adalah kasus pertama seorang advokat menjadi tersangka atas tuduhan sebagai pelaku pidana pemalsuan terkait dengan pembelaan terhadap kliennya.
Pemalsuan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan Bab IX KUHP dengan judul "Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu". Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (obyek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seperti benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar. Pertama adalah norma kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan. Kedua adalah norma ketertiban masyarakat yang pelanggarnya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat.
Terkait dengan kasus BW di atas, tidak ada tindak pidana sendiri yang mengatur tentang kejahatan bagi seorang advokat yang menganjurkan saksi persidangan memberi keterangan palsu di depan sidang pengadilan sehingga tuduhan terhadap BW dikaitkan dengan ketentuan Pasal 55 Ayat (2) yang mengatur tentang pembujukan,
Pasal 242 Ayat (1) berbunyi , "
Pertanyaannya, kapan seorang "saksi atau pembujuk saksi" di depan persidangan dapat dihukum karena memberi keterangan palsu melanggar Pasal 242
Syarat materialnya adalah harus atas sumpah, keterangan itu diwajibkan menurut UU atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu, dan keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuannya diketahui oleh si pemberi keterangan (saksi).
Pembujuk saksi palsu di dalam persidangan menurut hukum harus memenuhi unsur-unsur pidana, antara lain adanya kesengajaan menggerakkan orang lain, melakukan suatu tindakan yang dilarang undang-undang dengan bantuan sarana sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 55 Ayat (2) KUHP, keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus dibangkitkan (secara psikis), dan orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan rencana yang ditanamkan oleh pembujuk atau penggerak untuk melakukan tindak pidana.
Pertanyaannya kemudian, seorang advokat terkait dengan upaya pembelaan terhadap kliennya kemudian telah mengarahkan saksi persidangan memberi keterangan palsu, apakah yang bersangkutan dapat dituntut melakukan tindak pidana pemalsuan melanggar Pasal 242
Seorang advokat di dalam melakukan tugas profesionalnya di dalam membela kliennya, pada hemat kami, tidak dapat dituntut melakukan "pembujukan" terkait kejahatan pemberian keterangan palsu menurut Pasal 242
Di dalam melakukan pembelaan terhadap klien, seorang advokat tidak memerlukan sarana pembujukan, seperti pemberian, janji-janji, penyalahgunaan wewenang, kekerasan, ancaman, dan tipu muslihat, atau dengan cara memberi kesempatan, sarana, atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (2) KUHP. Pembujukan hanya dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana tergantung pada (ada/tidaknya) sejumlah "sarana pembujukan" yang diperinci dengan tegas oleh Pasal 55 Ayat (2) tersebut.
Saksi dan keterangan saksi menurut Pasal 185 KUHAP memiliki penerapan sendiri, tidak tergantung pada palsu atau tidaknya keterangan yang diberikan, tetapi apakah keterangan tersebut memiliki nilai kekuatan pembuktian atau tidak. Apalagi, setiap saksi ketika dihadirkan di depan persidangan, yang bersangkutan selalu diingatkan oleh hakim (imperatif sifatnya) untuk memberi keterangan dengan benar tentang apa yang diketahui, dilihat, dan dialaminya sendiri karena terikat sumpah. Jadi, menurut pendapat kami, terkait dengan keterangan saksi di persidangan tidak berlaku ketentuan Pasal 55 KUHP.
Dengan demikian, jelas apa pun anjuran atau pembujukan yang dilakukan seorang advokat terhadap saksi persidangan tidak memenuhi persyaratan Pasal 55 Ayat (2) KUHP sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai "pembujukan" dalam hukum pidana karena yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas keterangan yang diberikan seorang saksi di depan persidangan. Selain tidak ada unsur kesalahan, tidak memenuhi persyaratan sarana di dalam pembujukan Pasal 55 Ayat (2) KUHP juga disebabkan seorang saksi di depan persidangan bertanggung jawab sendiri atas seluruh keterangan yang diberikan di depan persidangan tentang apa yang dilihat, didengar, dan dialaminya sendiri.
Kasus dugaan pemalsuan oleh BW harus menjadi perhatian dan tak bisa dianggap enteng para advokat. Publik mungkin lebih tertarik dengan masalah polisi versus KPK. Namun, masalah tuduhan terhadap seorang advokat harus pula menjadi perhatian bersama para advokat.
Advokat dan Mantan Menteri Hukum dan HAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar