Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 19 Januari 2015

ANALISIS EKONOMI  Bisnis yang Berstandar Toleransi Nol

DI dunia ini ada dua industri yang diatur paling ketat oleh pemerintah (the most regulated industry), yakni industri perbankan dan industri penerbangan. Industri perbankan diatur ketat karena menyangkut pengelolaan dana nasabah yang jumlahnya amat besar, sedangkan industri penerbangan diatur ketat karena menyangkut keselamatan penumpang yang harganya tidak ternilai.

Pada industri perbankan, sebuah bank rata-rata bisa mengumpulkan dana masyarakat sekitar 10 kali lipat dibandingkan dengan modal sendiri. Jika seorang pemilik bank memiliki modal sendiri Rp 10 triliun, dengan modal tersebut, dia bisa menarik dana masyarakat Rp 100 triliun untuk "diputar" dan menghasilkan laba. Namun, jika terjadi salah kelola, dana publik Rp 100 triliun tersebut bisa amblas dalam sekejap. Bank hanya punya 10 persen dana untuk mengembalikannya, yang berasal dari modal sendiri. Itu pun kalau masih ada.

Karena begitu riskannya bisnis perbankan, otoritasnya membuat berbagai regulasi yang mengikat untuk menghindari praktik-praktik perbankan yang sembrono, yang bisa merugikan nasabah, yang bahkan bisa menghancurkan perekonomian.

Bagaimana halnya dengan sektor penerbangan? Menteri Perhubungan Ignasius Jonan baru saja mengeluarkan kebijakan baru menaikkan tarif penerbangan batas bawah dari 30 persen menjadi 40 persen terhadap tarif batas atas. Kebijakan ini segera menuai kontroversi karena dianggap seperti "meniadakan" bisnis penerbangan bertarif murah (low cost carrier atau budget airlines). Terlebih kebijakan ini diambil segera setelah terjadi musibah AirAsia, sebuah maskapai penerbangan berbiaya murah.

Apakah Menteri Perhubungan sedang mengaitkan kecelakaan ini dengan faktor murahnya harga tiket? Pasti tidak mudah untuk menemukan korelasi keduanya. Kita bisa berdebat panjang tanpa kata sepakat. Karena kenyataannya, kecelakaan pesawat terbang tidak hanya terjadi pada maskapai penerbangan murah, tetapi juga yang reguler (full services).

Meski demikian, ikhtiar Menteri Perhubungan membuat regulasi yang kian ketat untuk memitigasi segala risiko yang timbul dalam industri ini juga tidak salah. Seperti halnya industri perbankan yang sarat regulasi, industri penerbangan pun perlu diperlakukan serupa. Banyak standar kepatuhan (compliance) tingkat tinggi yang harus dipenuhi. Industri maskapai penerbangan pada dasarnya sangat sedikit atau hampir tidak mempunyai ruang toleransi.

Ketika maskapai tidak cukup disiplin dalam bekerja sehingga mengakibatkan keterlambatan jadwal terbang, hukumannya adalah maskapai harus menanggung denda keterlambatan. Pada level yang ringan ini masih bisa ditoleransi, tetapi berpotensi menyebabkan kerugian perusahaan. Tatkala level pelanggaran disiplin ini menyangkut hal yang lebih esensial, misalnya aspek teknis-mekanik pesawat, hal itu bisa berpotensi menyebabkan kecelakaan. Jika itu terjadi, akan terjadi risiko reputasi yang amat sulit ditebus.

Bisnis maskapai penerbangan murah mulai hadir di Indonesia pada awal 1990-an. Indonesia termasuk negara yang cukup awal memulainya. Bisnis ini berkembang cepat sehingga Lion Air pada 2013 menguasai 43 persen pangsa pasar, mengalahkan Garuda (22 persen), Sriwijaya (11), Citilink (7), Wings Air (5), Indonesia AirAsia (4), dan Merpati yang kini berhenti terbang (2).

Kembali ke soal kebijakan menaikkan tarif batas bawah, meskipun belum tentu berkorelasi langsung dengan keselamatan, setiap ikhtiar pemerintah untuk memperketat regulasi tetap layak didukung. Langkah ini mirip yang dilakukan Bank Indonesia (kemudian dilanjutkan Otoritas Jasa Keuangan) menaikkan rasio loan to value (LTV), yakni menaikkan uang muka kredit sepeda motor menjadi 30 persen. Di satu pihak, kebijakan LTV akan mengurangi risiko kredit macet. Namun, di sisi lain, hal ini akan mengurangi ekspansi kredit bank alias mengurangi agresivitas bank. Implikasinya, bank-bank akan berkurang tingkat labanya, tetapi lebih sehat bisnisnya.

Dalam industri penerbangan, ada kemungkinan kenaikan tarif dasar menyebabkan sedikit penurunan permintaan. Hal ini sekaligus akan sedikit mengerem laju industri yang mengalami ekspansi 10-20 persen per tahun dalam 10 tahun terakhir. Langkah ini akan menjadi semacam berkah tersembunyi karena sesungguhnya ledakan penumpang sangatlah tidak didukung oleh ketersediaan infrastruktur bandara yang memadai.

Menurut Saraswati dan Hanaoka (2013), sebagaimana dikutip OECD dalam laporan bertajuk Airline Competition in Indonesia, 18-19 Juni 2014, dari 297 bandara di Indonesia, sekitar 61 persen mengalami kelebihan kapasitas. Karena itu, langkah Menteri Perhubungan untuk menaikkan tarif batas bawah bisa menjadi semacam moratorium yang bisa sedikit mengerem pertumbuhan industri atau minimal tidak tumbuh terlalu agresif belasan persen setahun untuk sementara waktu. Di sisi lain, pemerintah harus segera membangun bandara-bandara baru.

Lonjakan penumpang yang luar biasa belum diikuti dengan dukungan infrastruktur, ketersediaan sumber daya manusia yang andal, mitigasi risiko, dan pengawasan yang ketat. Semua aspek tersebut masih tampak kedodoran dan ketinggalan. Oleh karena itu, tugas Menhub masih banyak sekali.

A Tony Prasetiantono 
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Sumber:   http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011464505  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger