Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 05 Januari 2015

Efektivitas Penegakan Hukum Presiden Jokowi (Abdul Hakim G Nusantara)

GEBRAKAN hukum Presiden Joko Widodo, yakni menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan dan menolak grasi para terpidana mati pengedar narkoba disambut antusias oleh sebagian masyarakat.

Namun, penolakan grasi atas terpidana mati pengedar narkoba terus dipersoalkan legitimasinya oleh pembela hak asasi manusia karena melanggar hak hidup sebagai HAM konstitusional universal. Gebrakan hukum Jokowi itu menyampaikan pesan yang jelas kepada rakyat Indonesia dan dunia bahwa dia serius dalam menegakkan daulat hukum.

Namun, ini baru permulaan kisah yang belum dapat disimpulkan. Efektivitas penegakan hukum dalam makna konsistensi prinsip, kebijakan, dan tindakan hukum, berkurangnya  secara signifikan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta bentuk kejahatan umum lainnya masih harus dibuktikan  dalam masa kepresidenan Jokowi.

Dalam sistem daulat hukum demokrasi konstitusional Indonesia, Presiden punya tanggung jawab penegakan hukum melalui tiga institusi. Pertama, institusi pejabat tata usaha negara (PTUN) non atau kuasi yudisial, seperti kementerian dan jajarannya, lembaga pemerintah non- kementerian—baik sipil maupun militer, dan jajarannya, pemda dan jajarannya. Mereka inilah, menurut Roger Cotterrel (Cotterrel 2012 : 337-349 ), para agen penyelenggara hukum yang mengelola kebijakan dan perizinan bagi berbagai aktivitas ekonomi, sosial, politik, keamanan, dan budaya yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat.

Penegakan hukum di sektor ini jelas dimaksudkan untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan korupsi dan bersamaan dengan itu memaksimalkan pelayanan publik, pendapatan negara, dan melindungi aset publik. Di sektor ini, dari mulai pemerintahan Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono tak berhasil mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif.

Kedua, institusi Polri sebagai penyidik yang punya wewenang penyelidikan dan penyidikan segala rupa perkara pidana, mulai dari urusan rumah tangga sampai urusan publik. Reformasi Polri selama lebih dari satu dasawarsa belum berjaya membersihkan dirinya dari praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kekerasan berlebihan. Bahkan, saat ini acap terjadi bentrokan antara oknum polisi dan oknum TNI.

Ketiga, institusi kejaksaan sebagai penuntut belum sepenuhnya tuntas menjalankan reformasi. Kejaksaan belum berhasil pula membersihkan dirinya dari praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang, mengakibatkan rendahnya kepercayaan masyarakat atas integritas para jaksa.

Koordinasi dan sinergi

PTUN non atau kuasi yudisial, polisi, dan jaksa punya tugas dan wewenang—termasuk diskresi—untuk menegakkan hukum di lingkungan masing-masing dengan beragam sasaran. Walaupun tugas, wewenang, dan diskresi para penyelenggara hukum itu berbeda, sesungguhnya berhubungan. Misalnya, PTUN di bidang kesehatan memastikan semua pemangku kepentingan mematuhi standar dan persyaratan yang ditetapkan. Setiap pelanggaran pasti dikenai sanksi administratif atau, apabila ada unsur pidana, akan diselidiki dan disidik oleh pegawai penyidik dan atau polisi, yang kemudian bisa jadi akan diikuti dengan penuntutan oleh jaksa.

Keputusan-keputusan untuk melakukan tindakan hukum atas suatu kasus di sektor tertentu tak terhindarkan mengundang pertimbangan dan diskresi dari setiap penyelenggara hukum itu, yang bisa pula mengundang perbedaan pendapat dan benturan yang membawa dampak pada efektvitas penegakan hukum.

Karena itu, PTUN non atau kuasi yudisial, polisi, dan jaksa sebagai subsistem dalam sistem penyelenggaraan dan penegakan hukum di bawah presiden harus mampu berkoordinasi dan bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum yang kebijakannya ditetapkan oleh presiden. Persis di situ letak kelemahan penegakan hukum di Indonesia, yaitu presiden gagal mengoordinasi dan menyinergikan pelaksanaan tugas penegakan hukum yang semestinya dilakukan, yang berakibat rendahnya efektivitas penegakan hukum di Indonesia.

Efektivitas penegakan hukum ditentukan pula oleh faktor-faktor, seperti kejelasan hukum, pengetahuan, dan pemahaman atas hukum yang berlaku, situasi kasus yang dihadapi, kecerdasan, dan keberanian penegak hukum untuk mengambil keputusan, sumber daya yang memadai, dan peran serta masyarakat.

Maka, efektivitas penegakan hukum Presiden Jokowi akan ditentukan oleh, pertama, konsistensi prinsip, kebijakan, dan tindakan hukum berkenaan kejelasan wilayah prioritas penegakan hukum. Kedua, mengoordinasikan dan menyinergikan PTUN non atau kuasi yudisial, polisi, jaksa sebagai subsistem dari sistem penegakan hukum. Ketiga, keberanian dan kecerdasan mengambil putusan atas berbagai kasus yang dihadapi, termasuk penggunaan diskresi yang bertanggung jawab. Keempat, sumber daya yang cukup dan dukungan masyarakat luas. Kelima, pengadilan yang bersih,  responsif, dan progresif terhadap tuntutan keadilan publik.

Akhirnya, perlu dikemukakan bahwa efektivitas penegakan hukum di bawah Presiden Jokowi harus diukur dengan indikator, antara lain konsistensi dalam prinsip, kebijakan dan tindakan hukum, menurunnya secara signifikan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di jajaran PTUN, polri, dan jaksa, serta kejahatan umum lainnya; meningkatnya kualitas dan aksesibilitas pelayanan publik; rasa aman dan nyaman dalam kehidupan di kalangan masyarakat luas; meluasnya budaya kepatuhan hukum; serta meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, jika semua indikator itu dapat dipenuhi pada era kepemimpinan Jokowi, kita bersama akan berada dalam kehidupan hukum yang lebih baik daripada zaman sebelumnya.

Abdul Hakim G Nusantara Ketua Komnas HAM 2002-2007; Advokat/Arbiter

Sumber:  http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010858443

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger