Para kritikus UN boleh lega, karena persoalan utama UN yang selama ini mereka kritik sekarang sudah diakomodasi oleh pemerintah. Fungsi UN sebagai syarat kelulusan yang menjadi sumber segala masalah, seperti inflasi nilai oleh sekolah dan berbagai macam dampak negatif UN, seperti pembelajaran mekanis dengan pemikiran tingkat rendah, sistem
soal, pengawalan ketat polisi, stres, bahkan sampai ada yang bunuh diri, diharapkan tidak akan terjadi lagi.
Menghapus fungsi UN sebagai syarat kelulusan sudah tepat. Mengembalikan penentu kelulusan siswa pada sekolah sudah sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sebab seluruh proses pembelajaran terjadi di tingkat satuan pendidikan. Oleh karena itu, guru dan sekolahlah yang lebih mengerti dan memahami proses perkembangan pembelajaran siswa. Siswa, guru, dan orangtua, semestinya juga lega, karena proses belajar mengajar di sekolah sudah bisa kembali ke jalur yang benar secara pedagogis, yaitu proses pembelajaran berkualitas, menarik, membangkitkan semangat belajar, dan motivasi tinggi tanpa ancaman dan paksaan.
Kebijakan Anies tetap menyisakan persoalan terkait fungsi ujian standar seperti UN yang multiparameter. Ujian nasional sebagai sebuah tes standar bagi seluruh siswa Indonesia dari Sabang sampai Merauke akan tetap dilaksanakan. Tes standar, sekecil apa pun tingkatannya, lebih banyak merusak proses pembelajaran (Kohn, 2000). Tes standar seringkali mengelabui publik dengan angka-angka dan tabel yang tidak relevan dan tak mampu memotret apa yang diketahui dan dikuasai siswa. Meminjam istilah Harris dkk (2011), "tirani niat baik", seringkali lebih mendominasi ketimbang pemikiran rasional argumentatif tentang makna ujian dalam proses pendidikan.
Agar kebijakan ini semakin bermakna, ada beberapa masukan yang perlu dipertimbangkan oleh Mendikbud pasca dihapuskannya fungsi UN sebagai syarat kelulusan. Pertama, keberadaan UN multiparameter tetap harus dikaji ulang. Ujian nasional sebagai pemetaan kualitas sekolah secara teori psikometrik tidak memiliki dasar yang kuat. Ujian nasional sebagai pemetaan hanya berfungsi sebagai pemetaan kompetensi individual siswa dan tidak dapat ditransfer untuk menilai kualitas sekolah. Menilai kualitas sekolah dan kualitas guru melalui dari sebuah tes standar yang mengukur kompetensi siswa, jelas sebuah kesalahan logika. Kualitas sebuah sekolah tidak dapat dinilai dari agregat nilai UN siswa.
Menilai kualitas siswa dari sebuah ujian standar melalui UN ini juga patut dipertanyakan. Kenyataan bahwa siswa tidak dapat mengerjakan seluruh 40
Kedua, UN yang berfungsi sebagai proses untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, terutama di perguruan tinggi (PT), tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan dengan persentase yang kecil sekalipun. Ujian nasional pemetaan hanya memetakan sebagian kompetensi siswa, tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Seleksi ke PT bersifat mendiskriminasi untuk menyeleksi mahasiswa terbaik. Ujian nasional pemetaan tak dapat menjalankan fungsi ini.
Ketiga, kualitas pendidikan tidak dapat ditentukan melalui skema evaluasi ala UN. Kualitas pendidikan ditentukan dari keutuhan kebijakan pendidikan yang terintegrasi satu sama lain yang mengaitkan proses pendidikan dari tahap satu ke tahap berikutnya, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, seperti sistem
akreditasi, supervisi, dan kebijakan pengembangan profesional guru.
Banyak persoalan bisa muncul bila pemerintah tidak menindaklanjuti dengan sinkronisasi kebijakan penilaian pendidikan dari tingkat SD ke SMP, dari SMP ke SMA/SMK, dan dari SMA/SMK ke PT, dan tidak melakukan pengembangan kapasitas di berbagai level, seperti pengembangan dan pelatihan untuk para pendidik dalam rangka proses dan evaluasi penilaian.
Beberapa hal bisa menjadi pertimbangan untuk mengatasi persoalan ini.
Pertama, kebijakan seleksi masuk ke perguruan tinggi dengan sistem sekarang, melalui jalur undangan (SNMPTN), Ujian Bersama, dan Mandiri perlu diubah.
SNMPTN melalui jalur undangan yang memiliki porsi 50 persen dari total kuota mahasiswa tetap akan membuat sekolah berlomba-lomba menginflasi nilai siswa. Akibatnya, PT akan menerima mahasiswa dengan kualitas yang diragukan. Tahun lalu ada banyak indikasi manipulasi nilai. Bahkan, dalam beberapa kasus, nilai siswa sejak SMP pun sudah dimanipulasi.
Kebijakan SNMPTN perlu dikembalikan pada lembaga pendidikan tinggi dan dikelola melalui sebuah konsorsium tes yang independen. Sistem ini lebih meritokratis dan mampu menjaring mahasiswa berkualitas secara obyektif. Dengan cara ini, PT dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya. Sistem seleksi model pengembangan minat dan bakat dan jalur undangan tetap bisa dipakai sejauh kuotanya sedikit dan dengan kriteria yang sangat ketat.
Sistem seleksi masuk PT yang meritokratis bisa jadi mendiskriminasi siswa dari daerah yang memiliki kualitas pendidikan rendah. Pemerataan kualitas pendidikan bukanlah tanggung jawab PT, melainkan tanggung jawab pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Memperbanyak SNMPTN jalur undangan bukanlah solusi, karena tidak menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah
Kedua, pemerintah memiliki tanggung jawab mengembangkan kapasitas guru dan meningkatkan kualitas sekolah sebagai
Ketiga, pemerintah perlu memberikan pedoman bagi guru dan sekolah dalam rangka pengembangan penilaian pendidikan sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. Pengayaan dengan berbagai macam metode evaluasi dan penilaian sangat diperlukan. Seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya hendaknya dipercayakan kepada lembaga pendidikan, dan pemerintah membantu agar lembaga pendidikan mampu menjadi institusi yang dipercaya karena kejujurannya dalam mendidik dan menilai para siswa yang dipercayakan kepada mereka. Tantangan peningkatan kualitas pendidikan ke depan tidaklah ringan. Namun, harapan besar perbaikan telah bersemi. Persoalan ke depan pasca kebijakan UN sudah dapat diprediksi. Pemerintah perlu menanggapinya secara aktif dan efektif. Untuk ini, keputusan Mendikbud patut diapresiasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar