Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 28 Januari 2015

Harapan Baru Ujian Nasional (Doni Koesoema A)

KEPUTUSAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk menghilangkan fungsi ujian nasional sebagai syarat kelulusan menjadi tonggak baru harapan peningkatan kualitas pendidikan. Sayangnya, UN yang multiparameter sebagai pemetaan kualitas siswa, sekolah dan seleksi masuk ke jenjang pendidikan tetap ada. Revolusi mental pendidikan masih jauh dari harapan.

 Para kritikus UN boleh lega, karena persoalan utama UN yang selama ini mereka kritik sekarang sudah diakomodasi oleh pemerintah. Fungsi UN sebagai syarat kelulusan yang menjadi sumber segala masalah, seperti inflasi nilai oleh sekolah dan berbagai macam dampak negatif UN, seperti pembelajaran mekanis dengan pemikiran tingkat rendah, sistem drill, kecurangan massal, fenomena kebocoran
soal, pengawalan ketat polisi, stres, bahkan sampai ada yang bunuh diri, diharapkan tidak akan terjadi lagi.

 Menghapus fungsi UN sebagai syarat kelulusan sudah tepat. Mengembalikan penentu kelulusan siswa pada sekolah sudah sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sebab seluruh proses pembelajaran terjadi di tingkat satuan pendidikan. Oleh karena itu, guru dan sekolahlah yang lebih mengerti dan memahami proses perkembangan pembelajaran siswa. Siswa, guru, dan orangtua, semestinya juga lega, karena proses belajar mengajar di sekolah sudah bisa kembali ke jalur yang benar secara pedagogis, yaitu proses pembelajaran berkualitas, menarik, membangkitkan semangat belajar, dan motivasi tinggi tanpa ancaman dan paksaan.

Ujian standar

 Kebijakan Anies tetap menyisakan persoalan terkait fungsi ujian standar seperti UN yang multiparameter. Ujian nasional sebagai sebuah tes standar bagi seluruh siswa Indonesia dari Sabang sampai Merauke akan tetap dilaksanakan. Tes standar, sekecil apa pun tingkatannya, lebih banyak merusak proses pembelajaran (Kohn, 2000). Tes standar seringkali mengelabui publik dengan angka-angka  dan tabel yang tidak relevan dan tak mampu memotret apa yang diketahui dan dikuasai siswa. Meminjam istilah Harris dkk (2011), "tirani niat baik", seringkali lebih mendominasi ketimbang pemikiran rasional argumentatif tentang makna ujian dalam proses pendidikan.

 Agar kebijakan ini semakin bermakna, ada beberapa masukan yang perlu dipertimbangkan oleh Mendikbud pasca dihapuskannya fungsi UN sebagai syarat kelulusan.  Pertama, keberadaan UN multiparameter tetap harus dikaji ulang. Ujian nasional sebagai pemetaan kualitas sekolah secara teori psikometrik tidak memiliki dasar yang kuat. Ujian nasional sebagai pemetaan hanya berfungsi sebagai pemetaan kompetensi individual siswa dan tidak dapat ditransfer untuk menilai kualitas sekolah. Menilai kualitas sekolah dan kualitas guru melalui dari sebuah tes standar yang mengukur kompetensi siswa, jelas sebuah kesalahan logika. Kualitas sebuah sekolah tidak dapat dinilai dari agregat nilai UN siswa.

 Menilai kualitas siswa dari sebuah ujian standar melalui UN ini juga patut dipertanyakan. Kenyataan bahwa siswa tidak dapat mengerjakan seluruh 40 item soal yang diberikan berarti bahwa siswa tidak memiliki kompetensi di bidang yang diujikan. Bagaimana dengan tema-tema pembelajaran lain yang tidak masuk dalam item soal yang diujikan? Tes standar, apa pun bentuknya adalah sebuah reduksi dari keseluruhan proses pembelajaran. Oleh karena itu, menarik kesimpulan tentang prestasi siswa dari ujian standar ala UN ini sangat sesat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi mengaitkannya dengan kualitas sekolah.

 Kedua, UN yang berfungsi sebagai proses untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, terutama di perguruan tinggi (PT), tidak dapat dipertanggungjawabkan, bahkan dengan persentase yang kecil sekalipun. Ujian nasional pemetaan hanya memetakan sebagian kompetensi siswa, tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Seleksi ke PT bersifat mendiskriminasi untuk menyeleksi mahasiswa terbaik. Ujian nasional pemetaan tak dapat menjalankan fungsi ini.

 Ketiga, kualitas pendidikan tidak dapat ditentukan melalui skema evaluasi ala UN. Kualitas pendidikan ditentukan dari keutuhan kebijakan pendidikan yang terintegrasi satu sama lain yang mengaitkan proses pendidikan dari tahap satu ke tahap berikutnya, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, seperti sistem
akreditasi, supervisi, dan kebijakan pengembangan profesional guru.

Sinkronisasi kebijakan

 Banyak persoalan bisa muncul bila pemerintah tidak menindaklanjuti dengan sinkronisasi kebijakan penilaian pendidikan dari  tingkat SD ke SMP, dari SMP ke SMA/SMK, dan dari SMA/SMK ke PT, dan tidak melakukan pengembangan kapasitas di berbagai level, seperti pengembangan dan pelatihan untuk para pendidik dalam rangka proses dan evaluasi penilaian.

Beberapa hal bisa menjadi pertimbangan untuk mengatasi persoalan ini.

 Pertama, kebijakan seleksi masuk ke perguruan tinggi dengan sistem sekarang, melalui jalur undangan (SNMPTN), Ujian Bersama, dan Mandiri perlu diubah.
SNMPTN melalui jalur undangan yang memiliki porsi 50 persen dari total kuota mahasiswa tetap akan membuat sekolah berlomba-lomba menginflasi nilai siswa. Akibatnya, PT akan menerima mahasiswa dengan kualitas yang diragukan. Tahun lalu ada banyak indikasi manipulasi nilai. Bahkan, dalam beberapa kasus, nilai siswa sejak SMP pun sudah dimanipulasi.

 Kebijakan SNMPTN perlu dikembalikan pada lembaga pendidikan tinggi dan dikelola melalui sebuah konsorsium tes yang independen. Sistem ini lebih meritokratis dan mampu menjaring mahasiswa berkualitas secara obyektif. Dengan cara ini, PT dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya. Sistem seleksi model pengembangan minat dan bakat dan jalur undangan tetap bisa dipakai sejauh kuotanya sedikit dan dengan kriteria yang sangat ketat.

 Sistem seleksi masuk PT yang meritokratis bisa jadi mendiskriminasi siswa dari daerah yang memiliki kualitas pendidikan rendah. Pemerataan kualitas pendidikan bukanlah tanggung jawab PT, melainkan tanggung jawab pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Memperbanyak SNMPTN jalur undangan bukanlah solusi, karena tidak menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah affirmative action kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tertinggal setelah melalui analisis dan pemetaan yang benar, sehingga kebijakan intervensi pendidikan bisa dilakukan.

 Kedua, pemerintah memiliki tanggung jawab mengembangkan kapasitas guru dan meningkatkan kualitas sekolah sebagai locus educationis utama peningkatan kualitas pendidikan. Tugas guru adalah meningkatkan kapasitas profesionalnya sebagai pendidik dan penilai. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi pengembangan profesional guru dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan agar semakin bermutu.

 Ketiga, pemerintah perlu memberikan pedoman bagi guru dan sekolah dalam rangka pengembangan penilaian pendidikan sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. Pengayaan dengan berbagai macam metode evaluasi dan penilaian sangat diperlukan. Seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya hendaknya dipercayakan kepada lembaga pendidikan, dan pemerintah membantu agar lembaga pendidikan mampu menjadi institusi yang dipercaya karena kejujurannya dalam mendidik dan menilai para siswa yang dipercayakan kepada mereka. Tantangan peningkatan kualitas pendidikan ke depan tidaklah ringan. Namun, harapan besar perbaikan telah bersemi. Persoalan ke depan pasca kebijakan UN sudah dapat diprediksi. Pemerintah perlu menanggapinya secara aktif dan efektif. Untuk ini, keputusan Mendikbud patut diapresiasi.

 Doni Koesoema Pemerhati Pendidikan

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011479060  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger