Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 Januari 2015

”Je Suis Charlie” dan Terorisme di Perancis (Noor Huda Ismail)

DALAM  waktu relatif singkat, kepolisian Perancis dapat mengidentifikasi tersangka penembakan secara keji di kantor majalah Charlie Hebdo, yang menewaskan 12 orang, di antaranya editor, kartunis, dan seorang polisi Muslim. 

Bagaimana polisi Perancis dalam waktu relatif singkat menetapkan  Hamyd Mourad dan kakak beradik keturunan Aljazair, Said Kouachi dan Cherif Kouachi, menjadi tersangka? Apa yang dapat kita pelajari, terutama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, dari peristiwa teror ini?

Richardson dalam What Terrorists Want: Understanding the Enemy, Containing the Threat (2007) mengidentifikasikan tiga faktor—individu yang termarjinalkan, kelompok yang memfasilitasi, dan ideologi yang membenarkan—yang akan mendorong orang terlibat dalam tindak kekerasan. Berdasarkan identifikasi lethal cocktail (campuran yang mematikan) ala Richardson ini, mari kita cocokkan dengan apa yang terjadi di lapangan.

Menurut kepolisian Perancis, tersangka adalah bekas narapidana, tetapi gagal berintegrasi kembali ke dalam masyarakat sehingga ia menjadi bagian dari individu yang terpinggirkan. Oleh karena itu, ia pun kemudian kembali ke habitat awalnya, yang tidak hanya memberikannya fasilitas sosial, tetapi juga identitas diri yang kuat sebagai bagian dari gerakan yang mempunyai misi agung membela agama.

Identifikasi diri terhadap sistem kepercayaan,  tata nilai dan norma sebuah kelompok akan mempercepat proses radikalisasi seseorang. Pada fase inilah kemudian ideologi berperan memberi penjelasan yang seakan terang benderang terhadap kondisi dunia yang semakin karut-marut serta pembenaran terhadap aksi kekerasan atas sebuah peristiwa yang mereka anggap salah.

Dari paparan di atas, tampak bahwa proses radikalisasi itu mudah dijelaskan. Namun, fakta di lapangan sangat sulit ditentukan secara presisi kapan dan pada tahapan apa seseorang terlibat proses radikalisasi. Tak heran apabila radikalisasi sebagai konsep akademis juga menimbulkan perdebatan: apakah radikal itu hanya sebatas pemikiran atau juga termasuk tindakan.

Asumsi yang berbeda ini pun merembes pada tataran kebijakan di dunia internasional dalam menyikapi radikalisasi. Negara Anglo Saxon, seperti Amerika, Inggris, dan Australia, lebih mengadopsi behavior perspective (tindakan). Tidak aneh jika salah satu kerjaan FBI di AS setiap hari memelototi ribuan laman dan jejaring sosial media yang mengadvokasi kekerasan. FBI juga mendata dan mendatangi (tidak membubarkan) acara-acara yang digelar kaum ekstremis, yang tidak hanya dari kalangan Islam, tetapi juga dari golongan rasisme, seperti  kelompok white supremacies.  Selama mereka tidak melakukan aksi, FBI hanya mengawasi, memprofil, dan mencoba mencari koneksi gerakan mereka dengan jaringan internasional yang ada.

Adapun di negara Eropa pada umumnya, terutama Jerman, tak memberikan perbedaan antara radikal di tataran pemikiran dan aksi. Mungkin sikap ini berdasarkan trauma masa lalu mereka menghadapi Nazi. Bagi Jerman, pemikiran yang dianggap ekstrem sudah cukup dianggap ancaman serius bagi demokrasi.

Bagaimana Perancis? Negara ini sangat mendukung kebebasan berekspresi, seperti terbaca dari  salah satu ungkapan filosof mereka, Voltaire (1786), "Aku tidak setuju dengan apa yang kamu ungkapkan, tetapi aku akan membela sampai mati hakmu untuk mengungkapkannya."  Dengan semangat kebebasan berekspresi yang meluap-luap itulah, dapat dipahami Perancis punya majalah kartun Charlie Hebdo yang berisi satir kepada semua kalangan: tidak hanya kepada tokoh yang berafiliasi Islam, seperti "khalifah" Al Baghdadi, tetapi juga pada tokoh-tokoh lain.

Sebagai negara di Eropa Barat dengan penduduk Muslim terbesar, aparat keamanan negara ini juga sadar bahwa konstelasi politik Islam global akan memberi pengaruh terhadap dinamika Muslim yang mayoritas dari mereka menolak kekerasan. Nah, konflik yang terjadi di wilayah Suriah dan Irak menyeret tidak kurang dari 1.000-an warga mereka yang terdiri dari warga keturunan Afrika Utara, Arab, dan para mualaf bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pimpinan Al Bagdhadi.

Jarak yang dekat antara Perancis dan Turki (perbatasan dengan Suriah), harga tiket pesawat yang murah, mudahnya akses internet, perkembangan sosial media dangadget, serta susahnya mendapatkan pekerjaan bagi anak muda menjadi lethal cocktail (campuran yang mematikan), mendorong mereka menjadi radikal. Sebagian yang telah kembali dari wilayah konflik inilah yang kemudian dianggap akan menjadi ancaman bagi Perancis. Ada tiga hal: (1) punya cara pandang baru terhadap dunia yang mereka lihat; (2) mendapatkan kemampuan militer yang memadai; dan (3) berdedikasi tinggi terhadap tata nilai kelompok, yang kemudian mereka akan melakukan aksinya secara independen karena sistem desentralisasi kerja telah diadopsi jaringan ini.

Marc Sageman dalam buku Understanding Terror Networks (2004) menyebut fenomena itu dengan istilah bunch of guys (sekelompok pemuda) yang mengadopsi sistem kerjaleaderless jihad (jihad tanpa pemimpin). Mereka inilah yang kemudian didata dan diawasi oleh aparat Perancis. Ditambah lagi, salah satu yang diduga bagian dari jaringan ini telah mendatangi kantor polisi setempat. Diduga, dari sinilah kemudian aparat bergerak melakukan pencarian secara masif terhadap tersangka.

Pola radikalisasi semacam ini juga terjadi di Indonesia. Fakta empiris: munculnya video di Youtube baru-baru ini berisi tantangan warga negara Indonesia yang bergabung dengan NIIS terhadap lembaga negara, seperti TNI dan Polri, utamanya Densus 88. Beberapa dari pendukung NIIS itu adalah bekas narapidana terorisme yang belum digarap secara serius oleh negara sehingga mereka kembali ke habitat lama. Pada gilirannya, mereka akan memberikan tambahan pekerjaan baru bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Noor Huda Ismail
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011383633  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger