Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 Januari 2015

Berlomba dalam Kebaikan (IMAM ANSHORI SALEH)

KEJAKSAAN Agung membentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi untuk mempercepat pemberantasan Korupsi. Satgasus P3TPK ini beranggotakan 100 jaksa terpilih yang berada di korps kejaksaan dari sejumlah daerah.

Gagasan pembentukan Satuan Tugas Khusus Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK) ini perlu disambut baik. Sebab, setidaknya ada komitmen baru di kalangan kejaksaan untuk lebih serius dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sejak awal reformasi melakukan tugas pemberantasan korupsi dan memperoleh kepercayaan yang sangat tinggi dari masyarakat. Dibentuknya KPK karena kinerja kejaksaan dalam pemberantasan korupsi mengecewakan.

Akan tetapi, membiarkan KPK jalan sendiri memberantas korupsi ternyata tidak cukup. Banyak kasus korupsi di sejumlah daerah tidak terendus karena KPK hanya berada di Jakarta.  Dengan pembentukan Satgasus P3TPK, kini ada dua garda terdepan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Jika berjalan secara sinergis, diharapkan keduanya dapat mempertajam pemberantasan korupsi.

"Satuan tempur" kejaksaan

Transparency International akhir tahun lalu, 3 Desember 2014, di Berlin, Jerman, merilis Corruption Perceptions Index 2014 (CPI, Indeks Persepsi Korupsi 2014). Organisasi antikorupsi ini setiap tahun mengeluarkan laporan korupsi global. Dari 28 negara di kawasan Asia Pasifik, sebagian besar mendapat peringkat buruk. Ada 18 negara mendapat skor di bawah 40 dari seluruhnya 100 skor. Angka 0 berarti terkorup dan 100 berarti paling bersih. Indonesia mendapat skor 34, naik daripada tahun lalu, 32.

Indonesia kini menduduki peringkat ke-107, bersama-sama dengan Argentina dan Djibouti. Tahun 2014, Indonesia berada di peringkat ke-114 dari 174 negara yang diperiksa. Indeks itu mengalami perbaikan setiap tahun, tetapi tidak terlalu signifikan. Korupsi dana anggaran negara di pusat dan di daerah terus saja terjadi. Jumlah pejabat negara dan daerah yang terseret tindak pidana korupsi seolah tak habis-habisnya.

Jaksa Agung HM Prasetyo yang semula diragukan integritas dan kapabilitasnya oleh publik telah menunjukkan langkah konkret menjadikan kejaksaan sebagai institusi yang serius menangani korupsi. Prasetyo menjelaskan bahwa tim yang dibentuknya ini merupakan satuan tempur terdepan Kejaksaan Agung.

"Karena lingkupnya di semua daerah, tim ini pun harus siap untuk juga melakukan proses hukum pidana korupsi di mana pun, mulai dari penyelidikan sekalipun," kata Prasetyo, Menurut Prasetyo, Kejaksaan Agung sudah mengantongi berbagai perkara korupsi kelas kakap yang ada di daerah. Dia menyebut Satgasus P3TPK dibentuk bukan untuk melemahkan atau bentuk ketidakpercayaan terhadap kejaksaan di daerah.

Terlepas apakah ini merupakan bagian dari komitmen Presiden Joko Widodo untuk menciptakan pemerintahan yang bersih ataukah gagasan Jaksa Agung Prasetyo sendiri, langkah pembentukan Satgasus P3TPK patut diapresiasi. Kita yakin, sebelum melangkah, Prasetyo dan jajaran Kejaksaan Agung sudah memperhitungkan semua konsekuensi yang harus dihadapi.

Pertama, 100 jaksa yang dipilih sebagai anggota Satgasus P3TPK harus benar-benar memiliki integritas dan kompetensi yang memadai.  Seorang saja dari 100 anggota Satgasus P3TPK mempunyai rekam jejak yang buruk pada masa lalu, akan menjadi beban Satgasus untuk melangkah lebih jauh.

Kedua, konsep pemberantasan korupsi harus jelas dan tidak boleh tumpang tindih dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, apalagi kalau kemudian terkesan berebut lahan dengan KPK.

Keunggulan dan kelemahan

Dalam hal jangkauan, mestinya kejaksaan lebih unggul dibandingkan dengan KPK. Sebab jaringan yang dimiliki kejaksaan jauh lebih luas dan lebih merata dibandingkan dengan KPK. Hal ini bisa dimaklumi karena semua kabupaten dan kota di Indonesia telah memiliki kejaksaan negeri, sementara KPK baru berencana membentuk perwakilan di daerah, itu pun baru dimulai di tingkat provinsi.

Akan tetapi, keunggulan ini sebenarnya juga menjadi kelemahan bagi kejaksaan. Seratus jaksa yang terpilih adalah jaksa- jaksa lama yang semula bekerja di sejumlah daerah yang sudah biasa bergaul dengan pejabat-pejabat yang berpotensi terlibat kasus korupsi. Jika para jaksa masih menerapkan budaya ewuh pakewuh, pemberantasan korupsi yang dilakukan Satgasus dengan 100 jaksa tersebut tidak akan bisa berjalan efektif. Tetapi hal ini dapat diperbaiki dengan pemahaman yang jelas bahwa mereka yang terpilih harus dapat melepaskan diri dari berbagai kebiasaan ewuh pakewuh itu.

Kejaksaan Agung dan KPK perlu segera duduk bersama untuk membicarakan peta korupsi di Indonesia. Kedua institusi itu harus berbagi tugas, jenis korupsi seperti apa yang ditangani KPK dan seperti apa pula yang menjadi bagian kejaksaan.

Jadi dengan dua garda pemberantasan korupsi itu tidak menjadikan keduanya berebut kewenangan, melainkan—dalam istilah agama adalah fastabiq al-khairat—berkompetisi dalam kebaikan. Kejaksaan juga perlu menggandeng untuk bersinergi dengan sejumlah institusi yang berkaitan erat dengan pemberantasan korupsi, seperti PPATK, Komisi Yudisial, BPK, BPKP, Polri, dan pengawasan aparat di daerah.

Bagi Kejaksaan Agung, Satgasus P3TPK ini sebagai pertaruhan. Jika sukses akan dapat menaikkan gengsi institusi kejaksaan. Sebaliknya, jika ternyata hanya indah di konsep tetapi hasilnya nol, akan semakin memerosotkan kepercayaan masyarakat terhadap korps kejaksaan.

Hal lain, yang perlu diperjelas dari Satgasus P3TPK adalah ciri apa yang membedakan sosok mereka dibandingkan dengan jaksa-jaksa yang selama ini sudah melakukan pemberantasan korupsi. Apa hanya seperti yang ditegaskan Jaksa Agung Prasetyo: akan bekerja cepat dan dalam pengawasan ketat? Atau ranah pemberantasannya lebih ditekankan pada daerah-daerah. Atau ada ciri lain.

Sebagai pembanding, KPK yang  didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dalam  pelaksanaan tugasnya berpedoman pada lima asas. Kelima asas tersebut adalah kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.

Jadi, kita tidak menginginkan Satgasus P3TPK bentukan Kejaksaan Agung ini menjadi semacam KPK tandingan, tetapi keduanya bisa saling bermitra secara sinergis. Yang terpenting, publik menanti hasil yang dapat dicapai Satgasus P3TPK sampai akhir 2015. Kalau hasilnya seperti yang telah dicapai KPK, ini akan mendatangkan kepercayaan masyarakat dan pada gilirannya akan mempercepat perbaikan indeks persepsi korupsi. Dengan dua garda tim pemberantasan korupsi— KPK dan Satgasus P3TPK—dapat berseninergi dan bergerak bersama, diharapkan  negara kita tidak terus-menerus menjadi juara bertahan dalam bidang korupsi.


Imam  Anshori  Saleh

Komisioner Komisi Yudisial
Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011366079 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger