Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 Januari 2015

Oligopoli dan Revitalisasi Industri (DODI MANTRA)

KEPUTUSAN  pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menaikkan harga bahan bakar minyak memang patut untuk diacungi jempol.

Tidak hanya karena sangat sensitif dan cenderung tidak populis, tetapi juga dasar keputusan yang memang rasional.

Dari strategi pengalihan anggaran untuk sektor produktif, keputusan ini tepat sasaran. Angka pertumbuhan ekonomi dapat digenjot, bahkan pada level potensial 7 persen.

Revitalisasi industri adalah salah satu sasaran utama alokasi anggaran belanja produktif pemerintah. Tepat pada jantung perekonomian Indonesia, stimulus anggaran ini diinjeksikan.

Sampai detik ini, sektor industri manufaktur merupakan sektor yang memberikan sumbangan terbesar bagi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ditinjau dari persentase terhadap pendapatan domestik bruto, praktis tidak ada sektor lain yang mampu mengungguli kontribusi sektor industri manufaktur yang rata-rata 24 persen sepanjang 2010 hingga triwulan III-2014.

Begitu pula dengan kontribusi terhadap kinerja ekspor Indonesia. Selama tujuh tahun terakhir, persentase rata-rata ekspor produk industri manufaktur dari total ekspor Indonesia tidak pernah turun dari 60 persen.

Tidak salah jika kemudian sektor industri manufaktur disebut jantung perekonomian Indonesia. Dari output dan kontribusi ekspor yang sangat besar inilah angka pertumbuhan ekonomi Indonesia berpijak.

Penurunan output dan kinerja negatif ekspor industri manufaktur beberapa tahun terakhir, secara langsung berdampak pada angka pertumbuhan ekonomi. Artinya, industri manufaktur berperan penting bagi keberlangsungan ekonomi negeri ini.

Melalui anggaran belanja produktif pemerintah, megaproyek pembangunan 13 kawasan industri di luar Jawa dengan biaya Rp 12 triliun mendapatkan sokongan (Investor Daily, 11/11/2014). Dari instrumen anggaran belanja pemerintah ini pula ada insentif infrastruktur guna memfasilitasi kinerja industri manufaktur (Kontan, 10/11/2014).

Para pemangku kebijakan ekonomi dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK menegaskan tujuan ini. Kontribusi industri manufaktur di atas 20 persen selama lebih dari lima tahun terakhir akan digenjot hingga 30 persen dari total PDB Indonesia.

Ditambah dengan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur sebagai komponen terpisah dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi, dapat diprediksikan target peningkatan pertumbuhan segera dituai pada tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK.

Namun, jika direfleksikan pada kondisi kehidupan masyarakat, angka-angka pertumbuhan yang positif selama dua periode pemerintahan sebelumnya, dapat dikatakan tidak berarti bagi masyarakat. Hanya pemerintah yang mendapat puja-puji dunia internasional. Kemiskinan dan ketimpangan masih melekat dalam kehidupan masyarakat. Terpenuhinya kebutuhan pangan, bahkan masih menjadi mimpi bagi rakyat yang mayoritas adalah buruh, petani, dan nelayan.

Masyarakat Indonesia memilih Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden dengan harapan bisa mengatasi kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kerusakan lingkungan. Sederet kondisi permasalahan, yang ironisnya justru tetap melekat dalam kehidupan masyarakat, di tengah-tengah angka pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Paradoks angka pertumbuhan ini memberi pesan bahwa upaya peningkatan angka pertumbuhan semata, tidaklah cukup. Angka pertumbuhan yang tinggi, tetapi tetap dibarengi dengan sederet permasalahan yang sama, menyiratkan bahwa ada masalah dalam kondisi dan cara menghasilkan angka pertumbuhan itu.

Sebagai konsekuensinya, revitalisasi industri secara membabi buta, sebagai strategi untuk menggenjot angka pertumbuhan pun, dengan demikian menjadi tidak tepat sasaran.

Revitalisasi industri bermakna membangkitkan kembali posisi dan kinerja sektor industri dengan kondisi dan corak produksinya yang sama dan telah berlangsung selama ini. Sektor industri manufaktur adalah jantung dari geliat pertumbuhan ekonomi Indonesia, reproduksi permasalahan pun tidak dapat dilepaskan dari corak produksi dan kondisi sektor ekonomi yang paling produktif ini.

Oligopoli

Sebuah permasalahan mendasar yang berlangsung di balik geliat sektor industri manufaktur Indonesia selama lebih dari satu dekade terakhir, jelas terletak pada struktur pasar yang bersifat sangat oligopolistik.

Struktur pasar oligopoli adalah kondisi yang dengan sangat nyata berlangsung di balik geliat kinerja industri manufaktur Indonesia di sepanjang 1996-2012. Dengan menggunakan penghitungan rasio konsentrasi empat perusahaan teratas (four-firms concentration ratio/CR4), ditemukan struktur pasar oligopoli yang tersebar hampir di semua subsektor industri manufaktur Indonesia. Sepanjang 1996-2012, rata-rata jumlah subsektor dengan rasio konsentrasi empat perusahaan (CR4) yang berada di atas 50 persen adalah 76,1 persen.

Kondisi ini bermakna bahwa rata-rata 70 persen dari semua subsektor industri manufaktur Indonesia 1996-2012, dengan lebih dari 50 persen pasar pada setiap produk subsektor tersebut, dikuasai oleh empat perusahaan teratas saja.

Tahun 2012, dari total 356 subsektor industri manufaktur, 279 subsektor (78 persen), berada dalam kondisi pasar oligopolistik dengan rasio konsentrasi empat perusahaan teratas (CR4) sama atau di atas 50 persen. Bahkan, data rasio konsentrasi 1996-2012 menunjukkan kecenderungan yang semakin tahun semakin terkonsentrasi.

Kondisi struktur pasar oligopolistik, yang telah berjalan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, membawa dampak yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia.

Pertama, pemain besar leluasa menerapkan strategi memaksimalkan keuntungan. Utamanya dilakukan dengan cara memperbesar mark-up ratio atau price-cost margin. Keuntungan besar dinikmati pemain besar melalui harga jual, sementara biaya produksi terus ditekan.

Singkatnya, pengusaha besar dapat meraup keuntungan maksimal, sementara biaya produksi khususnya upah buruh ditekan. Tak mengherankan jika terjadi kesenjangan sosial, tecermin dari Indeks Gini yang terus meningkat.

Kedua, inflasi yang tinggi dapat dengan sangat cepat terjadi. Struktur pasar oligopolistik memberikan ruang bagi pemain besar untuk menaikkan harga seiring dengan kenaikan permintaan (pro-cyclical).

Ketiga, stagnasi dan semakin mapannya industri dengan corak produksi dan nilai tambah rendah. Seiring penguasaan atas pasar, pemain besar di sektor industri manufaktur Indonesia— dengan corak produksi dan posisi nilai tambahnya yang rendah dalam rantai produksi global—telah meraup keuntungan besar. Tidak mengherankan jika sampai dengan hari ini, corak produksi industri Indonesia dalam rantai produksi global tetap berada pada posisi aktivitas produksi dengan nilai tambah yang rendah.

Keempat, struktur oligopoli ini telah menciptakan konsentrasi kapital pada segelintir pemain besar, yang membawa dampak ekonomi politik mendalam. Kekuatan kapital dari korporasi besar dapat semakin besar memengaruhi kebijakan pemerintah, tidak hanya dalam ranah ekonomi, bahkan sampai kepada ranah hukum dan legislasi.

Upah murah

Kondisi ini semakin diperparah oleh corak produksi industri manufaktur Indonesia yang hingga saat ini masih bertumpu pada upah buruh murah dan eksploitasi atas sumber daya alam. Semakin nyata bagaimana sesungguhnya permasalahan di balik kinerja sektor industri manufaktur, sebagai sektor penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini.

Sayang, tidak tampak arah dan upaya serius serta sistematis dari pemerintahan Jokowi-JK untuk mengatasi penyakit kronis yang menggerogoti sektor industri manufaktur.

Kebijakan pembangunan kawasan industri baru di luar Jawa lagi-lagi mengandalkan ekstraksi atas potensi sumber daya alam yang terkandung di setiap lokasi. Industrialisasi tetap bertumpu pada investasi yang mengandalkan upah murah, dilengkapi insentif infrastruktur, administratif, dan fiskal.

Parahnya lagi, masalah struktur pasar yang sangat oligopolistik dalam sektor industri manufaktur justru tidak tampak disasar sebagai target perubahan kebijakan industri Jokowi-JK. Tidak tampak dalam strategi revitalisasi industri pemerintahan Jokowi-JK upaya merombak struktur pasar industri manufaktur yang dicengkeram segelintir pemain besar.

Alhasil, proyek revitalisasi industri yang mendapatkan dukungan anggaran dari pengalihan subsidi BBM justru akan bermuara pada fasilitas dan insentif bagi kekuatan oligopolistik industri. Meski semakin masif mendongkrak pertumbuhan ekonomi, basisnya upah murah dan eksploitasi sumber daya alam.

Bagai kuku dengan daging, tarian indah angka pertumbuhan ekonomi akan selalu lekat dengan kemiskinan, kesenjangan, dan kerusakan lingkungan.

Dodi  Mantra
Peneliti Purusha Research Cooperative
Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010758211 

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger