Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 Januari 2015

Negara dan Kita (BONI HARGENS)

ANALIS Fareed Zakaria di kolom Washington Post (11/12/2014) menyatakan, akuntabilitas demokratik adalah uji pasar bagi pemerintah. Ia memungkinkan datangnya kritik dari luar meski arus baliknya sering kali menyulitkan.  Kurang lebih situasi ini dihadapi pemerintahan Joko Widodo saat ini.

 Budi Gunawan (BG) sudah diusung jadi calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Sebelumnya, bekas ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri ini tak banyak dikenal, selain sebagai Kapolda Jambi pada 2008 dan Kapolda Bali pada 2012. Di Bali, BG sukses mengatasi kerusuhan di Lapas Kerobokan, Denpasar. 

Belakangan, BG banyak dibincangkan dengan nada miring. Ia disebut dalam bola panas rekening gendut para jenderal. Memangnya ada jenderal polisi yang rekeningnya kurus? Benarkah BG satu dari sekian jenderal yang mengantongi rekening gendut? PPATK tak pernah dengan terbuka memberikan klarifikasi. Akan tetapi, secara mengejutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan BG sebagai tersangka pada 13 Januari 2015. 

Sebagian mengatakan, ini tamparan keras bagi pemerintahan Jokowi. Sebagian lagi melihatnya blessing in disguise, berkah terselubung. 

Opini pertama adalah simplifikasi yang normal dalam masyarakat politik. Mereka yang jauh dari sentrum akan melihat politik sebagai bangunan tunggal, tatkala di dalamnya juga terdapat seorang kepala tunggal. Padahal, politik tak pernah singular dan sederhana. Bahkan, ada keputusan politik yang  tidak menginklusi kehendak individual presiden.

Konteks ini hanya bisa dimengerti dengan cara pandang kedua, yaitu pandangan yang mencoba memahami konteks Istana  secara komprehensif. Bahwa apa yang terjadi dengan BG, meminjam istilah Fareed Zakaria (2014), adalah "uji pasar bagi komitmen pemerintah" dalam membangun demokrasi. Setidaknya, mereka yang meyakinkan Presiden bahwa BG adalah figur terbaik dengan sendirinya terbantahkan.

Itulah hebatnya demokrasi yang terbuka. Tak semua penolakan harus diterjemahkan "tidak!" Seleksi sosial akan memperjelas  hitam dan putih dalam politik yang abu-abu (atau diabu-abukan?) Maka,  manuver KPK bukan tamparan melainkan  dukungan yang tepat waktu. 

Meski demikian, ada spekulasi buruk yang juga muncul di media massa. Bahwa, keputusan KPK  menersangkakan BG adalah keberhasilan skenario lawan politik yang memanfaatkan KPK untuk kepentingan terselubung. Sebatas spekulasi, itu tidak masalah. Dalam politik, sebuah faktum bisa berdimensi jamak, bergantung sudut pandang kepentingan. Tapi, kebenaran pada hakikatnya utuh dan tidak bias. Yang paling penting, apakah "kebenaran yang diterima" tidak melawan "rasa kebenaran" publik dan membawa kebaikan bagi semua. 

Keterbukaan

Sesungguhnya, kata kunci di sini adalah keterbukaan. Tanpa keterbukaan yang dihadirkan media dan tanpa keberanian KPK, ruang politik kita gelap dan angker. Keterbukaan memungkinkan semuanya terlihat.  

Akan tetapi, lepas dari itu semua, polemik BG  adalah sampel baik. Bahwa ruang publik kita semakin demokratis. Ada keterbukaan dan ada kontrol publik dalam pengambilan keputusan.   

Soal keterbukaan, jurnalis Jerman, Julian Nida-RÜmelin, pernah menulis artikel bagus di koran die Zeit (20/12/2010) berjudul"Demokratie will Öffentlichkeit", demokrasi menghendaki keterbukaan. Ia menegaskan—sambil mengutip  Immanuel Kant dalam Zum Ewigen Frieden (1795)—bahwa keterbukaan adalah jalan menuju perdamaian demokratis.

Meskipun demikian, keterbukaan seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia baik untuk pemerintahan demokratis. Dengan keterbukaan, publik bisa ikut mengawasi dan memengaruhi jalannya pemerintahan. Di lain sisi, ia melahirkan tekanan-tekanan yang bahkan melampaui kemampuan sistem untuk meresponsnya. Dalam situasi seperti ini, keterbukaan bisa meruntuhkan sistem.

Kita masih ingat, dua-tiga tahun lalu, elite politik berteriak "negara bakal runtuh" kalau skandal Bank Century dibuka tuntas.  Itu adalah sinyal bahwa keterbukaan dan kontrol publik yang begitu kuat tidak lagi seimbang dengan kemampuan sistem politik untuk meresponsnya. Korupsi yang terlalu sistemik, melibatkan terlalu banyak tangan kuat, tak lagi mampu diatasi oleh sistem karena sudah menular ke semua bagian terpenting dari sistem. Itulah yang mereka sebut "negara runtuh". 

Hari ini, kita di jalan yang benar. Demokrasi  kita bergerak ke depan. Keterbukaan dan kontrol publik memungkinkan kotak Pandora terbongkar. Yang dibutuhkan sekarang adalah fleksibilitas sistem politik untuk merespons arus keterbukaan dan kontrol publik ini secara tepat. Kalau masih ada kekuatan yang melihat politik sebatas urusan "kendali kepentingan" atau "dominasi  parsial oleh tangan-tangan terbatas", saatnya semua itu mengalami revolusi mental.  KPK sudah memberikan dukungan yang tepat pada pemerintah. Tugas kita adalah memperkuatnya.

BONI HARGENS
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011386765  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger