Dewan Pertimbangan Agung merupakan salah satu lembaga negara yang dihapuskan dalam perubahan keempat UUD 1945. Sebagai penggantinya, UU No 19/2006 mengatur keberadaan suatu dewan pertimbangan yang disebut dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Namun, kedudukannya tidak sejajar dengan Presiden atau lembaga tinggi negara, seperti halnya Dewan Pertimbangan Agung.

Lingkup tugas

Wantimpres berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Oleh sebab itu, kurang tepat kalau para ketua (pembina) partai pendukung Presiden Joko Widodo menjadi anggota Wantimpres karena itu hanya merendahkan posisi mereka.

Keliru kalau menganggap lembaga ini setara dengan Presiden dan lembaga tinggi negara lainnya. Tugas mereka memberikan pertimbangan kepada Presiden diminta atau tidak diminta. Mereka tidak boleh membocorkan nasihat mereka kepada pers dan pihak lain. Oleh sebab itu, lebih cocok menduduki posisi ini adalah para cendekiawan (termasuk cendekiawan militer), bukan politisi.

Kasus Adnan Buyung Nasution yang menulis buku dan mengkritik SBY karena sulit bertemu dengan Wantimpres, sebetulnya tidak perlu terjadi kalau dipahami kedudukan lembaga ini menurut UU.    Anggota Wantimpres itu memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam bidang yang selama dua periode Presiden SBY diberi label: luar negeri, ekonomi dan lingkungan hidup, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, politik, ekonomi, kehidupan beragama, hankam, hukum (dan HAM), sosial budaya, kesejahteraan rakyat dan pertanian, pendidikan dan kebudayaan, pemerintahan dan reformasi birokrasi. Pada periode kedua pemerintahan SBY, aspek pertanian dihilangkan.

Trisaksti dan Nawacita

Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah memilih konsep Trisakti yang dicanangkan Bung Karno sebagai landasan program pembangunan yang akan dijalankan, yaitu berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga kerangka tersebut dijabarkan dalam sembilan program yang disebut Nawacita.

Kedaulatan dalam bidang politik mencakup sektor politik dalam dan negeri, pertahanan keamanan serta hukum. Untuk itu dijalankan politik luar negeri yang bebas-aktif berbasis negara maritim. Mungkin untuk ini bisa dipilih dari kalangan (mantan) diplomat yang selama ini berkiprah dalam bidang hukum laut, wawasan nusantara, dan penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan. Untuk melindungi nusa dan bangsa serta menjaga ketertiban masyarakat perlu dilanjutkan reformasi TNI dan Polri.

Jika polisi pada era Orde Baru kurang dari personel TNI Angkatan Darat, kini jumlahnya dua kali lipat dari ketiga angkatan. Ini perlu dicermati, tidak diharapkan lagi konflik personal antara tentara dan polisi.

Konsolidasi demokrasi dilanjutkan melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan yang berkembang dari waktu ke waktu. Pemekaran wilayah tentu perlu dipertimbangkan dengan saksama. Akan menghemat kalau kepala daerah tingkat satu dan tingkat dua tidak usah berpasangan, tetapi cukup satu orang.

Kemandirian dalam bidang ekonomi diwujudkan melalui keseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah (termasuk desa), meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional serta menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Selama ini ada kritik bahwa pembangunan ekonomi cenderung beraliran neoliberal dan bergantung pada utang. Oleh sebab itu, barangkali gagasan tentang ekonomi Pancasila, seperti digagas Mubyarto, dapat dikembangkan sebagai penyeimbang.

Kepribadian dalam budaya dapat dijabarkan melalui program peningkatan kualitas manusia. Kualitas manusia dapat ditingkatkan melalui pendidikan yang dipadukan dengan riset dan teknologi. Masa depan manusia Indonesia bergantung pada sinergi antara kedua bidang unggulan ini. Kualitas manusia itu juga memerlukan revolusi mental yang dilakukan di sekolah dan di tengah masyarakat. 

Masalah pembangunan hukum jangan dilihat dari sisi legal-formal saja, tetapi dari sudut budaya. Orang Jepang tertib antre, tidak mau menerobos lampu merah, dan tidak maling sepeda yang tak terkunci sekalipun karena hukum itu sudah jadi bagian budaya mereka. Pada program tentang penegakan hukum disebutkan juga  "menghormati HAM dan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu".

Terakhir, tentu Presiden memerlukan pertimbangan tentang kehidupan yang majemuk dalam beragama dan bermasyarakat di Tanah Air. Tidak boleh lagi ada kelompok minoritas yang terancam beribadah setiap saat.

Demikian gambaran pertimbangan Wantimpres yang dapat menjabarkan Trisakti menjadi sembilan program Jokowi-JK Nawacita. Personelnya tinggal disesuaikan dengan kerangka tugasnya.

ASVI WARMAN ADAM 
Visiting Research Scholar pada CSEAS Kyoto University

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011386725