Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 24 Januari 2015

Memetik Pelajaran dari Kasus Kedungombo (Suhardi Suryadi)

DALAM Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 disebutkan bahwa untuk meningkatkan produksi padi sebesar 82 juta ton pada 2019, pemerintah berencana membangun 20 bendungan dan 72 juta hektar irigasi.

Melalui langkah-langkah itu, diharapkan dapat menambah volume air 14 miliar meter kubik bagi kepentingan pengairan. Sebanyak 13 bendungan di sejumlah daerah direncanakan mulai dibangun pada 2015.

 Apa yang direncanakan pemerintahan sekarang tampaknya tidak jauh berbeda dengan era pemerintahan Orde Baru. Pada Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR, 16 Agustus 1994, Presiden Soeharto mengemukakan bahwa  proyek pembangunan jaringan irigasi baru telah mampu mengairi 1,7 juta hektar lahan sawah, sedangkan irigasi yang diperbaiki yang mencapai luas 2,9 juta hektar telah membantu Indonesia mencapai swasembada pangan.

Pengalaman Kedungombo

Kebijakan pembangunan bendungan acap kali hanya melihat kondisi lahan yang tidak subur dan kepentingan pragmatis berupa tersedianya jaringan irigasi meski setelah terbangun fungsinya kurang optimal dalam mengairi lahan petani.

Pemerintah lupa bahwa di sekitar lokasi bendungan yang akan dibangun terdapat manusia-manusia yang telah lama menetap dan memiliki ikatan kuat secara sosial-budaya. Bahkan, sebagian besar lahan yang didiami dan dikelola bukan semata bernilai ekonomi, melainkan harta pusaka peninggalan orangtua yang harus dijaga dan dipertahankan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

Keterbatasan pemerintah memahami masalah sosial-budaya masyarakat itulah yang membuat banyak kasus pembangunan bendungan  senantiasa menuai perlawanan warga setempat. Selain dalih mempertahankan tanah leluhur, penolakan warga juga karena tidak adanya manfaat yang mereka peroleh dari proyek pembangunan bendungan, seperti ganti rugi yang sangat tidak layak, kehilangan mata pencarian, terusir dari tempat kelahiran, tercerabut dari nilai-nilai sosial-budaya yang selama itu dipegang teguh dan dijaga kelestariannya, serta kerusakan ekologis wilayahnya.

Pemerintah memang telah mengkaji dan mempertimbangkan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan melalui instrumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Namun, dalam banyak kasus, penyusunan amdal lebih merupakan prasyarat bersifat legal-formal. Begitu pula implementasinya yang sulit dikontrol publik, tidak partisipatif, dan kurang transparan. Sebagai contoh, persetujuan masyarakat setempat yang sejak awal menolak rencana pembangunan bendungan hanya diwakili kepala kampung atau kepala desa.

Banyak kasus penolakan masyarakat terhadap pembangunan bendungan, seperti Kedungombo-Boyolali, Kotopanjang-Payakumbuh, Jatigede-Sumedang, dan Nipah-Madura, umumnya berawal dari kompensasi (ganti rugi) yang sangat rendah, kekayaan penduduk nonlahan yang tidak dihargai, dan pelaksanaan permukiman kembali yang tidak jelas. Dalam kasus pembangunan Waduk Jatigede, misalnya, mayoritas penduduk yang dipindahkan dan dimukimkan melalui program transmigrasi mengalami kegagalan. Sebagian dari mereka memilih kembali ke Jatigede dengan alasan tidak betah di tanah rantau, tidak mampu bertahan hidup, sistem pertanian yang berbeda dengan daerah asal, dan tidak terampil bekerja di luar sektor pertanian.

Di samping kehilangan hak sosial-ekonomi-budaya, masyarakat yang menolak rencana pembangunan bendungan juga dirugikan secara moral. Kasus pembangunan Waduk Kedungombo adalah sebuah contoh tragedi. Penduduk setempat yang bersikukuh mempertahankan rumah dan tanah mengalami intimidasi dan kekerasan fisik. Mereka dipaksa menerima uang ganti rugi yang sangat rendah dan jika menolak akan dicap sebagai PKI. Selain ancaman hukuman kurungan, akses warga ke area proyek pembangunan waduk juga diblokade. Termasuk ancaman penghilangan hak atas tanah tanpa ganti rugi serta paksaan untuk meninggalkan rumah dengan menaikkan elevasi dan debit air waduk.

Berbasis fakta

Rencana pembangunan 13 bendungan memang dibutuhkan dalam rangka menjamin ketersediaan air untuk peningkatan produksi beras dan mewujudkan kedaulatan pangan. Perannya sangat vital bagi sektor pertanian, terutama pada saat musim tanam kedua. Sampai dengan tahun 2013, jumlah bendungan besar di Indonesia sekitar 284 buah dan hanya dapat mengaliri sekitar 800.000 hektar atau 11 persen dari 7,5 juta hektar lahan irigasi teknis.  Namun, pembangunan bendungan sebaiknya tidak semata berorientasi pada target penyelesaian fisik.

Sebaliknya hal yang perlu dipertimbangkan dan dikedepankan adalah aspek-aspek sosial dan lingkungan selama pembangunan. Sebagaimana diketahui, dimensi inilah yang kerap diabaikan dan menjadi salah satu akar kegagalan pada era Orde Baru. Pada masa kini, sekalipun sudah ada perubahan sistem politik yang lebih terbuka dan menghargai hak asasi manusia, tidak bisa dimungkiri, masih terdapat aparat birokrasi yang menggunakan paradigma lama dalam mengelola pembangunan.

Karena itu, perbaikan tata kelola pembangunan dengan mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan dan  menjamin persetujuan tanpa paksaan (free prior informed consent) dari masyarakat adat/lokal yang terkena dampak proyek bendungan merupakan keniscayaan.

Kebijakan pembangunan yang menegasikan aspek-aspek sosial lingkungan tak pelak akan mengulang kembali kesalahan yang sama, seperti kasus Kedungombo yang penuh dengan konflik.  Hal tersebut juga dikhawatirkan mencederai komitmen Presiden Joko Widodo bahwa pembangunan harus berorientasi manusia dan mendengar dari pinggiran.

Suhardi Suryadi 
Direktur Program Prisma Resource Center

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011478893  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger