Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 20 Januari 2015

Menginvestigasi Kekuasaan Negara (Lambang Trijono)

TERIMA kasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah menunda pelantikan Kepala Polri. Namun, menengok kembali ke belakang, apa sesungguhnya yang terjadi dengan hubungan kekuasaan penyelenggara negara saat ini?

Kalau kita masih bisa berandai bahwa politik itu ibarat jejaring saraf politik kekuasaan dan sistem bernegara itu ibarat anatomi tubuh—seperti diandaikan ilmu politik naturalis klasik—kasus ini boleh jadi merupakan salah satu kasus naturalis politik terbanal yang pernah kita jumpai di negeri ini.

Apa boleh buat, kita terpaksa masih menggunakan analogi naturalis klasik itu untuk menggambarkan apa yang sedang
terjadi dalam kasus ini. Sebab, sepertinya kita masih jauh untuk bisa menggunakan gambaran ideal bekerjanya kekuasaan dalam sistem demokrasi, sebagaimana diasaskan pemisahan kekuasaan dalam trias politika.

Betapa tidak, entakan penggunaan kekuasaan hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penetapan status tersangka calon Kapolri itu akibatnya tidak hanya mendestabilisasi kekuasaan lembaga negara. Semua juga kena, sehingga seakan mendelegitimasi bekerjanya seluruh bangunan struktur kekuasaan.

Layak bertanya

Entakan kekuasaan hukum itu tidak hanya menerpa Presiden, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, sehingga harus meninjau ulang keputusannya. Juga bukan hanya mendelegitimasi kekuasaan DPR karena tetap melanjutkan uji kelayakan dan kepatutan, bahkan menyetujui calon Kapolri yang telah menjadi tersangka.

Akan tetapi, peristiwa ini bahkan bisa berbalik mendelegitimasi KPK, ketika publik mempersoalkan mengapa penetapan itu dilakukan secara tiba-tiba seakan diwarnai muatan politik di balik itu.

Sebagai warga publik, dalam hidup bernegara, tentu kita tidak bisa tinggal diam menyaksikan seakan ada saling telikung antarlembaga negara berlangsung di balik tumpang tindih hubungan kekuasaan hukum dan politik itu. Kita perlu bertanya kepada para pemegang kekuasaan di negeri ini, mengapa delegitimasi kekuasaan itu berlangsung, entah disadari atau tidak.

Tanda tanya publik

Kita perlu bertanya kepada KPK, mengapa penetapan itu begitu tiba-tiba dilakukan setelah Presiden mengajukan calon dan sehari sebelum uji kelayakan dan kepatutan dilakukan Komisi III DPR. Kalau betul seperti yang dituduhkan publik bahwa KPK melakukan itu karena tidak diajak Presiden berkonsultasi untuk ikut menentukan, betapa reaksionernya kesan kita dapatkan dari penggunaan kekuasaan hukum yang dipegang KPK itu.

Kita juga perlu mengajukan pertanyaan kepada Presiden, mengapa calon Kapolri yang sudah disebut terindikasi kasus korupsi sejak tahun 2013 itu diajukan. Mengapa pula Presiden hanya bersandar pada keterangan Komisi Kepolisian Nasional, tidak seperti penentuan anggota kabinet yang meminta pertimbangan KPK.

Kalau benar seperti dugaan publik bahwa hal itu dilakukan sebagai eksperimen politik untuk memperkuat kekuasaan eksekutif agar tidak didikte siapa pun, termasuk partai pengusung di DPR, tentu itu merupakan eksperimen politik penuh bahaya.

Kita juga, tentu saja, harus mempertanyakan DPR, mengapa Komisi III melanjutkan uji kelayakan dan kepatutan setelah tahu bahwa calon Kapolri yang diuji telah ditetapkan sebagai tersangka. Permainan kekuasaan apa yang dilakukan DPR, apakah Komisi III tidak membayangkan akibatnya bagaimana Presiden harus terpaksa memutuskan dan kita akan tersandera punya Kapolri yang terjepit kasus korupsi akibat pertentangan kekuasaan di antara lembaga hukum dan politik negara.

Kita patut mempertanyakan semua itu karena merupakan kewajiban kita sebagai warga bebas di republik ini untuk selalu mempertanyakan penggunaan kekuasaan lembaga negara sebagai amanat rakyat. Sebagai warga bebas, kita patut bertanggung jawab menggunakan kebebasan itu tidak hanya melulu untuk mengejar kepentingan pribadi-individual kita masing-masing, tetapi juga harus menggunakan kebebasan itu untuk kebaikan dan kepatutan publik, sebagaimana politik republikanisme mengajarkan kepada kita.

Tidak sensitif

Seperti kita rasakan, konsekuensi dari kasus ini akibatnya yang rugi kita semua, kehidupan publik dalam hidup bernegara. Di mata publik, delegitimasi kekuasaan itu begitu terasa tidak hanya menimpa Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, termasuk institusi Polri di bawahnya, tetapi juga lembaga legislatif DPR yang semakin terdelegitimasi karena tidak sensitifnya menggunakan kekuasaan untuk menghentikan banalisme politik hukum sedang berlangsung. Bahkan, delegitimasi itu juga menimpa lembaga yudikatif penegak hukum KPK, yang kini semestinya lebih memfokuskan pada pelembagaan norma hukum dan tidak hanya menangani korupsi dalam kasus per kasus.

Ke depan, dalam waktu dekat ini, tampaknya tidak mudah untuk keluar dari jebakan benturan kekuasaan hukum dan politik ini. KPK sepertinya tidak akan surut mencabut keputusan hukumnya. Demikian pula Presiden dan DPR tidak mudah mengambil keputusan di luar mandat kekuasaan yang dimiliki.

Karena itu, kembali berkomitmen menjunjung tinggi kepatutan publik, memperkuat institusi negara, dan terus melembagakan demokrasi merupakan pilihan terbaik kita. Begitu besarnya kerugian publik ditimbulkan dari delegitimasi institusi negara itu, mendorong kita untuk kembali menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan seperti diajarkan trias politika.

Bahwa, yang terpenting dari bernegara secara demokratis adalah kontrol terhadap kecenderungan penggunaan kekuasaan berlebih demi kebaikan dan kepatutan publik.

Lambang Trijono
Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011418748  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger