Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 20 Januari 2015

Politik yang Mencederai Hukum (M Ali Zaidan)

PELANTIKAN Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara yang berstatus terdakwa telah menimbulkan kontroversi. Kementerian Dalam Negeri meminta agar pelantikan tersebut ditunda. Bersamaan dengan itu,  DPR telah melakukan uji kelayakan dan kepatutan atas calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia meskipun sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyatakan status tersangka kepada yang bersangkutan.

Ketika Rapat Paripurna DPR digelar membahas dua agenda penting, menyangkut pemimpin KPK dan pemimpin Kepolisian, terdapat ambivalensi sikap yang menunjukkan bahwa proses politik lebih kental dan telah menabrak rambu-rambu hukum.

Dalam penetapan pemimpin KPK, lembaga perwakilan rakyat memutuskan menunda pengambilan keputusan sampai dengan berakhirnya masa jabatan pemimpin KPK saat ini. Padahal, lembaga itu pula yang getol mempersoalkan kelengkapan pemimpin ketika Antasari ataupun Bibit-Chandra dinyatakan nonaktif.

Lembaga politik itu pernah menyatakan, pemimpin KPK bersifat kolektif kolegial, tetapi dengan keputusan saat ini, pemimpin KPK dibiarkan kosong. Semoga keputusan politik tersebut tidak dijadikan bulan-bulanan ketika lembaga anti korupsi itu mengusut kasus besar dengan mengungkit-ungkit kepemimpinan KPK.

Dalam kasus pemimpin Polri, uji kelayakan dan kepatutan tetap dilangsungkan, bahkan DPR secara aklamasi menyetujui yang bersangkutan sebagai pemimpin Polri mendatang. Proses politik beberapa kasus di atas dapat mencederai proses hukum yang tengah berlangsung. Ternyata, hukum masih disubordinasikan oleh (kepentingan) politik; dengan demikian, upaya mewujudkan supremasi hukum merupakan harapan utopis.

Menjadikan hukum sebagai panglima masih membutuhkan waktu yang panjang meskipun komitmen tersebut telah ditegaskan dalam konstitusi. Lembaga politik seharusnya sadar, apabila terdapat proses hukum, proses politik sebaiknya ditunda untuk mencegah keputusan saling bertentangan yang akan menyulut kontroversi lanjutan, menguras energi, dan tidak produktif bagi kepentingan bangsa dan negara.

Melemah

Kesalahan memahami konsep the rule of lawtelah menimbulkan cara berpikir linier dalam proses hukum. Dimensi moral dan etika dengan sadar telah dikesampingkan. Proses politik yang terjadi dinyatakan sebagai bentuk penerapan hukum karena undang-undang menyatakan seperti itu. Akibatnya, pertimbangan kepatutan, kepantasan, dan kewajaran yang merupakan kewajiban hukum untuk diperhatikan semua pihak menjadi terabaikan. Patut, pantas, dan wajar merupakan pertimbangan moral dan etik yang berada di atas ketentuan hukum positif. Di antara hukum dan moral/etika terdapat hubungan fungsional. Hukum akan menguat ketika aspek etika ataupun moral melemah, begitu juga sebaliknya. Namun, tidak dibenarkan apabila proses hukum dengan menyampingkan etika dan moralitas.

Validitas proses politik dan hukum tidak cukup diukur dengan prosedur formal, tetapi harus dinilai seberapa jauh memperoleh legitimasi secara sosiologis, bahkan filosofis. Pertimbangan komprehensif seperti ini dimaksudkan agar proses politik dan hukum tidak cacat.

Dalam kasus pemilihan pemimpin Polri, idealnya lembaga politik tidak hanya menggarap aspek politik, tetapi juga harus mendorong agar proses hukum berjalan efektif. Pertimbangan ini disebabkan proses politik terkadang lebih mengandalkan pembentukan opini untuk membangun kesadaran, sementara proses hukum lebih mengedepankan pada alat bukti dan penilaian hukum yang tidak terdapat lagi keraguan terhadapnya.

Proses politik tidak boleh dilanjutkan dengan upaya melemahkan KPK, artinya jangan sampai informasi yang diperoleh akan digunakan sebagai amunisi untuk menyerang balik KPK. Sampai saat ini terbukti bahwa KPK yang masih punya nyali untuk membongkar korupsi tingkat tinggi yang melibatkan aktor-aktor politik, termasuk penyelenggara negara di bidang penegakan hukum. Korupsi adalah masalah bangsa, karena itu KPK tak boleh dibiarkan bekerja sendiri, apalagi merancang upaya mendelegitimasinya.

Impunitas

Proses politik tidak boleh menjadi ajang membebaskan seseorang dari tanggung jawab hukum. Segala bentuk impunitas harus dilawan oleh publik, dan pemegang kekuasaan wajib memeranginya dengan tidak melanjutkan proses politik jika akan digunakan untuk melakukan political laundry terhadap kasus hukum seorang calon pejabat publik.

Asas praduga tidak bersalah tidak boleh dijadikan tameng untuk tidak memproses hukum seseorang yang telah dinyatakan sebagai tersangka, apalagi telah menyandang status terdakwa. Asas itu hanya relevan jika proses hukum telah dimulai.

Dimensi rechtmatigheid lebih mengemuka dalam kasus hukum, sementara dalam proses politik aspek doelmatigheid lebih menonjol. Yang pasti, proses hukum tidak bisa dinafikan oleh proses politik disebabkan terdapatnya aspek etika dan moralitas yang merupakan roh hukum yang tidak dapat dikesampingkan.

Keduanya merupakan kekuatan laten yang mendampingi proses politik dan hukum yang apabila melemah, etika dan moralitas itulah yang maju untuk mengambil alih.

Proses politik lebih berbau kepentingan sesaat yang terkadang lebih berpihak pada kepentingan elite, sementara aspek (penegakan) hukum lebih berpihak pada kepentingan keadilan yang merupakan kepentingan publik.

Untuk kepentingan keadilan publik, seorang calon pejabat publik (harus) bersih dari persangkaan hukum. Hal ini dimaksudkan agar figur publik yang terpilih nanti bukan merupakan sosok dalam bagian dari sapu kotor sehingga tidak bisa dipergunakan untuk membersihkan lantai yang kotor.

Untuk membersihkan bangsa ini dari bahaya laten korupsi,  proses hukumlah yang akan memberikan jawaban apakah figur dimaksudclear and clean, jadi bukan proses politik. Akibat proses politik yang mekanistik, aspek penegakan hukum tercederai karenanya.

M Ali Zaidan
Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Hukum UPN "Veteran" Jakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011460762  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger