Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 22 Januari 2015

Menunggu Inpres Perberasan (Sapuan Gafar)

MASYARAKAT sekarang sedang menunggu keluarnya Instruksi Presiden tentang Perberasan. Inpres terakhir, Inpres No 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, dikeluarkan 27 Februari 2012 dengan keterangan sebagai kelanjutan kebijakan perberasan sebelumnya.

Inpres Perberasan merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada menteri terkait dan para gubernur/wali kota untuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan nasional. Inpres No 3/2012 mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksananya, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi. Yang tak diatur dalam Inpres tersebut pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi kerugian.

Saling menunggu

Siapa masyarakat yang menunggu keluarnya Inpres tersebut? Pertama, yang jelas petani. Sebenarnya Inpres tersebut apabila dikeluarkan pada Januari-Februari manfaatnya bagi petani terasa kurang. Inpres tersebut hanya berfungsi sebagai patokan harga yang akan terjadi di pasar saja sehingga petani dapat memperkirakan untung-ruginya. Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres umumnya sekitar Oktober untuk mendorong petani meningkatkan produksi padi. Setelah reformasi tidak ada pola yang tetap, tetapi umumnya keluar pada akhir Desember, bahkan kadang-kadang dikeluarkan pada April.

Kedua, pihak pedagang pengumpul dan penggilingan yang berkepentingan. Mereka akan bergairah kalau dalam Inpres tersebut dicantumkan beras untuk keluarga miskin (raskin). Para pedagang dan penggilingan akan berlomba memburu gabah sehingga akan mengangkat harga secara signifikan. Kalau hanya untuk cadangan beras pemerintah (CBP), mereka akan bertanya: berapa jumlah yang akan dibeli dan bagaimana kualitasnya. Mereka akan berhitung kalau CBP sebesar 1 juta ton dan mengetahui posisi stok beras Bulog saat ini 1,6 juta ton, para pedagang dan penggilingan akan mengurangi pembelian dan diperkirakan harga akan jatuh.

Ketiga, pihak Perum Bulog. Dengan adanya rencana pemerintah yang mengganti raskin dengan e-money, diperkirakan Bulog akan mengubah strategi pembeliannya. Bulog akan selektif dalam pembelian gabah/beras disesuaikan dengan kemampuan penjualan. Dengan demikian, pencabutan raskin akan kontraproduktif dengan rencana pemerintah yang akan mencapai target swasembada dalam tiga tahun. Bulog juga tidak dapat mengandalkan penjualan melalui operasi pasar karena dari pengalaman yang lalu, apabila keadaan produksi bagus atau dalam keadaan swasembada, ternyata tidak ada operasi pasar.

Keempat, pihak perbankan yang membiayai Bulog. Sejak kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dicabut tahun 1999, mulai tahun 2000 Bulog menggunakan kredit komersial perbankan yang dijamin oleh Menteri Keuangan. Menteri Keuangan bersedia menjamin kredit Bulog karena adanya jaminan penyaluran beras raskin. Apabila raskin dicabut, masih bersediakah Menteri Keuangan menjamin kredit Bulog? Akhirnya, mungkin Bulog diminta menggunakan APBN untuk pembiyaannya, tetapi yang menjadi pertanyaan, anggaran tersebut untuk program apa? Yang jelas, untuk menyantuni keluarga miskin sudah dicabut dan untuk CBP diperkirakan stoknya masih cukup besar. Akhirnya, akan terjadi kemelut yang tidak berujung karena setiap pihak berpikir secara sektoral, bukan secara komprehensif.

Sekarang ini informasi dari lapangan situasinya memberikan sinyal saling menunggu. Pihak perbankan menunggu kejelasan dari Bulog apakah kreditnya tidak macet. Pihak pedagang dan penggilingan juga menunggu kejelasan tugas yang diberikan kepada Bulog seperti apa. Pihak Bulog pun diperkirakan mengalami kebingungan. Pihak pemerintah juga harus berpikir setelah gabah/beras dibeli oleh Bulog, barangnya untuk apa?

Pengelola CBP harus berpikir ulang cara perputaran stoknya karena beras kalau disimpan selama tiga bulan sudah berubah kualitasnya. Pengalaman tahun 1984-1993, ketika dalam posisi swasembada beras, apabila Bulog melepas berasnya di dalam negeri, akan membuat harga turun. Apabila beras diekspor, harga beras dunia juga akan turun, kerugian bertambah.

Untuk apa?

Memang banyak yang skeptis atas pengaruh kebijakan harga beras terhadap kenaikan produksi padi. Namun, ilustrasi pentingnya, tingkat harga untuk mendorong kenaikan produksi dapat diikuti seperti uraian berikut ini.

Pada saat kebijakan impor beras dapat dilakukan secara bebas, harga beras di Pasar Induk Cipinang berkisar Rp 2.300-Rp 2.500 per kilogram untuk beras jenis IR III, stabil sepanjang tahun selama kurun waktu 2000-2004. Sejak impor beras dibatasi tahun 2004, baru tahun 2005 harga bergerak naik pada masa panen, sekitar Rp 2.400 per kg menjadi sekitar Rp 3.500 per kg pada Desember 2005 kemudian naik lagi menjadi sekitar Rp 4.000 per kg pada Februari 2006. Ternyata harga masih bergerak naik pada bulan paceklik, Desember 2006, menjadi sekitar Rp 4.500 per kg dan naik lagi menjadi sekitar Rp 5.000 per kg pada Februari 2007.

Pemerintah tampaknya terkaget-kaget akan adanya kenaikan harga yang demikian tinggi (naik dua kali lipat dalam tiga tahun). Oleh karena itu, pemerintah merespons dengan mengeluarkan Inpres No 2/2005 dengan menaikkan harga pembelian beras pemerintah sebesar 27 persen (dari Rp 2.790 menjadi Rp 3.550 per kg). Tahun berikutnya melalui Inpres No 3/2005 menaikkan harga pembelian gabah kering giling sebesar 27 persen (dari Rp 1.765 menjadi Rp 2.250 per kg) yang berlaku untuk tahun 2006. Tahun 2007 pemerintah masih menaikkan lagi harga beras sebesar 13 persen.

Apa dampak pembatasan impor beras dan kenaikan harga pembelian pemerintah tersebut? Diduga kenaikan produksi beras selama tiga tahun berturut-turut (2007, 2008, dan 2009) antara lain karena pembatasan impor beras dan kenaikan harga pembelian pemerintah. Faktor lain iklim yang mendukung (kemarau basah) dan tentunya kerja keras Kementerian Pertanian. Sayang belum ada yang tertarik meneliti penyebab kenaikan produksi yang spektakuler tahun 2007 sebesar 4,9 persen, tahun 2008 sekitar 5,5 persen, dan 2009 sebesar 5,8 persen. Akibat kenaikan produksi beras tersebut, Indonesia selamat menghadapi krisis pangan dunia tahun 2008. Indonesia tidak perlu berebut terjun ke pasar beras dunia.

Akhirnya, dari analisis situasi perberasan dan dalam rangka mengurai keadaan pasar yang tidak menentu saat ini, sebaiknya Inpres Perberasan segera dikeluarkan. Pengalaman menunjukkan, apabila harga turun akan lebih sulit mengangkatnya dan akan berdampak pada kepercayaan petani.

Selanjutnya, disarankan pencabutan raskin diundur menunggu 1-2 tahun lagi atau keluarga miskin yang di perkotaan saja yang dilepas terlebih dahulu seperti usulan Bank Dunia pada 2012. Tingkat harga pembelian pemerintah perlu dipertimbangkan karena sudah tiga tahun tidak mengalami perubahan. Namun, yang mengganjal dari masalah tersebut, harga beras dalam negeri sekarang sudah dua kali lipat dari harga beras dunia.

Sapuan Gafar
Mantan Sekretaris Menteri Negara Urusan Pangan dan Wakil Kepala Bulog

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011479903  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger