Penetapan seseorang sebagai tersangka, berikut penangkapan dan penahanan dalam perkara pidana, berkorelasi positif dengan pembuktian. Pasal 1 butir 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keada- annya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Apa yang dimasud dengan "bukti permulaan"? Terkait dengan penangkapan, Pasal 17 KUHAP mengatur, perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam penjelasannya hanya dikatakan bahwa "bukti permulaan yang cukup" adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.
Apakah "bukti permulaan" sama dengan "bukti permulaan yang cukup"? Sudah tentu berbeda. Jika berhubungan dengan penahanan, Pasal 21 Ayat (1) KUHAP memberi pedoman bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.
Apakah yang dimaksudkan dengan "bukti yang cukup"? Merujuk pada Pasal 1 butir 14, Pasal 17 berikut penjelasannya, dan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, ada berbagai istilah yang kedengarannya sama, tetapi secara prinsip berbeda, yakni istilah "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup". Sayangnya, KUHAP tak memberi penjelasan lebih lanjut terkait perbedaan dari ketiga istilah itu.
Berdasarkan doktrin, kata-kata "bukti permulaan" dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, tetapi juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal selaku
Menakar bukti permulaan tak dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya, pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana itu haruslah berpatokan pada elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Untuk mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka atau penangkapan dan penahanan, setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dan lainnya, termasuk pula dengan calon tersangka.
Mengenai hal terakhir ini, KUHAP tidak mewajibkan penyidik memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada si tersangka. Namun, berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut persangkaan yang tak wajar.
"Bukti permulaan yang cukup" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP adalah pada
Secara kualitatif, dua alat bukti itu harus ada keterangan saksi dan keterangan ahli atau keterangan saksi dan surat atau keterangan ahli dan surat dan seterusnya. Dua alat bukti yang dimaksud secara kualitatif adalah dua dari lima alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP.
Secara kuantitatif, dua saksi sudah dihitung sebagai dua alat bukti. Dalam tataran praktis, dua alat bukti yang dimaksud adalah secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi, dua alat bukti yang dimaksud dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Perlu ditegaskan bahwa penyidik dan penuntut umum tak berwenang menggunakan alat bukti petunjuk karena bukti otoritatif melekat pada hakim.
Berikut perihal istilah "bukti yang cukup" untuk melakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (1) KUHAP. Agar tidak bias, keseluruhan isi Pasal 21 Ayat (1) dikutip, "
Interpretasi gramatikal sistematis terhadap ketentuan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP adalah bahwa yang dimasudkan dengan "bukti yang cukup" dalam pasal
Pola kerja KPK saat ini—kecuali dalam operasi tangkap tangan—jeda waktu penetapan seseorang sebagai tersangka dan penahanannya relatif memakan waktu yang lama. Sebut saja Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang kurang lebih setahun kemudian baru ditahan setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Demikian pula Hadi Purnomo yang telah ditetapkan tersangka sejak 21 April 2014 dan Suryadarma Ali yang telah ditetapkan tersangka sejak 22 Mei 2014 sampai saat ini masih menghirup udara bebas. Pola kerja yang demikian tidaklah bertentangan dengan KUHAP, tetapi cenderung melanggar HAM sebagaimana yang dijunjung tinggi dalam
Alasan klise yang selalu diutarakan adalah KPK kekurangan penyidik dan KPK baru melakukan penahanan terhadap tersangka setelah berkas perkara mencapai lebih dari 60 persen untuk dilimpahkan ke pengadilan. Mengapa tak dibalik?
Ketika seseorang diduga korupsi, KPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap saksi terlebih dulu, termasuk calon tersangka, untuk memverifikasi bukti dokumen yang ada. Sembari melakukan penyidikan, KPK dapat minta cekal kepada orang yang diduga korupsi tanpa menetapkan status tersangka. Setelah berkas perkara matang mencapai lebih dari 60 persen, baru kemudian status tersangka ditetapkan dan diikuti dengan penahanan. Bukankah berdasarkan Pasal 21 Ayat (4) KUHAP terkait syarat obyektif penahanan, KPK dapat melakukan penahanan sesegera mungkin karena korupsi adalah kejahatan yang diancam lebih dari 5 tahun penjara?
Pola kerja yang demikian lebih elegan karena setiap orang yang diberi status tersangka tentu mengharapkan sesegera mungkin dihadapkan di persidangan sehingga memperoleh kepastian hukum mengenai benar-salahnya orang itu dan tidak tersandera dengan status itu. Keberhasilan KPK yang mencapai 100 persen dalam menangani perkara korupsi perlu dijadikan peringatan dini kepada setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, di sisi lain, ada fenomena lain di Pengadilan Tipikor yang berkembang dewasa ini dan cukup memprihatinkan dalam penegakan hukum.
Hakim di Pengadilan Tipikor lebih takut terhadap opini publik daripada fakta di persidangan. Artinya, penjatuhan pidana oleh hakim di Pengadilan Tipikor bisa jadi karena buktinya valid, tetapi juga tak jarang karena hakim takut berurusan dengan Komisi Yudisial manakala memutus bebas atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Dalam konteks yang demikian, kiranya apa yang dikatakan oleh Jerome Skolnick dalam
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar