Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 21 Januari 2015

Politik (dan) Hukum (Yonky Karman)

KASUS penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk calon tunggal Kepala Polri menghasilkan kegaduhan politik yang menyulitkan banyak pihak.

Setelah ditunggu, Presiden akhirnya menunda pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Presiden juga memberhentikan dengan hormat Sutarman dari jabatannya sebagai Kapolri dan menunjuk Wakapolri Badrodin sebagai Pelaksana Tugas Kapolri.

Kegaduhan politik berawal dari Presiden memakai hak prerogatifnya mempercepat proses pergantian Kapolri. Berbeda dari kebiasaan, kali ini hanya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang dilibatkan. Kompolnas bekerja sangat cepat dan merekomendasikan beberapa calon kepada Presiden.

Atas dasar rekomendasi itu, Presiden menetapkan calon tunggal. Preferensi calon tak dapat dipisahkan dari kedekatannya dengan partai kuat pendukung Presiden. Presiden kembali mempertaruhkan nasib penegakan hukum di republik ini setelah sebelumnya menempatkan orang partai sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Jaksa Agung. Apalagi, pada penetapan calon Kapolri kali ini, Presiden menolak pengaruh KPK terkait calon yang diketahuinya sudah mendapat catatan merah.

Proses politik berlanjut dengan uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Sebelum berlanjut, masuklah intervensi penetapan tersangka dari KPK. Taruhan percepatan di KPK amat besar karena target hukumnya adalah calon orang nomor satu di kepolisian yang notabene mitra strategis KPK.

Alih-alih menarik kembali pencalonan itu, Presiden membiarkan proses politik berlanjut di DPR. Begitu juga DPR yang melalui Komisi III malah mempercepat persetujuannya: hanya sehari setelah penetapan calon Kapolri sebagai tersangka. Ini preseden buruk proses uji kepatutan dan kelayakan dengan calon berstatus tersangka. Ironi, Komisi III yang membawahi bidang hukum berusaha memisahkan proses politik dari hukum.

Sebagaimana sudah diduga, pencalonan didukung secara aklamasi oleh Komisi III, minus Fraksi Demokrat yang memilih absen. Sehari sesudah itu, Sidang Paripurna DPR mengetok palu rekomendasi Komisi III.

Mulai tampak wajah asli DPR kita dengan politisasi hukumnya. Dalam revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang menimbulkan kegaduhan politik, isinya hanya soal pembagian kursi pimpinan. Tidak satu fraksi pun mengusulkan revisi untuk keberadaan Mahkamah Kehormatan yang mempersulit penyidikan bagi anggota DPR yang terindikasi korupsi.

Drama hukum kali ini bisa berefek dahsyat. Pada 2009, perseteruan cicak vs buaya hanya melibatkan KPK-Polri. Tiga tahun kemudian, drama serupa nyaris berulang dalam kasus simulator kemudi. Sekarang: Presiden, Polri, dan DPR di satu pihak akan berbenturan dengan KPK di lain pihak.

Kapolri berutang budi politik kepada DPR, Presiden, dan petinggi partai yang telah mengusungnya. Institusi DPR dan Polri akan berhadapan dengan KPK yang dianggap melakukan pembunuhan karakter untuk salah satu putra terbaik bangsa. Bukan hanya elite politik, rakyat juga akan terbelah antara pro dan kontra. Presiden akan masuk ke dalam posisi dilematis ketika alat-alat negara saling berhadap-hadapan membela kewibawaan institusi masing-masing. Tidak jelas lagi siapa musuh negara yang sebenarnya.

Proses pelemahan KPK secara konstitusional hampir pasti berjalan mulus, sesuatu yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh politisi dan penyelenggara negara yang korup. Banyak orang merasa terancam dengan KPK sebagai institusi penegak hukum yang tidak bisa dikendalikan kekuasaan politik.

Calon Kapolri kini masuk pusaran politik praktis. Separuh dukungan politik sudah di kantongnya. Separuh lagi masih ditunggu dari Presiden, apakah ia bergeming dengan pencalonannya. Berulang kali ditegaskan oleh para pembela politik kekuasaan: proses pencalonan ini secara politik sudah sesuai prosedur.

Isu transaksi mencurigakan dianggap selesai dengan terbitnya surat klarifikasi dari instansi tempat calon mengabdi. Seberapa obyektif isi surat itu? Yang jelas, prosedur tidak pernah identik dengan substansi. Prosedur bisa proforma. Di dunia industri, prosedur seketat apa pun tidak menutup kemungkinan lahirnya produk gagal.

Sering disimpulkan terlalu mudah, lambatnya peningkatan indeks persepsi korupsi di Indonesia karena KPK gagal dengan program pencegahan korupsi. Yang sebenarnya adalah korupsi sudah masif, sistemik, dan terstruktur sesuai dengan prosedur. Perlawanan paling berat dalam pemberantasan korupsi justru datang dari penyelenggara negara yang menguasai akses ke kekuasaan dan sumber daya.

Di era reformasi, kerumitan korupsi di Indonesia menjadi sulit terurai karena malapraktik bernegara dalam korupsi politik. Selama pemerintah, termasuk institusi kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian, tidak proaktif membersihkan dirinya, KPK yang di luar pemerintahan hanya leluasa dengan penindakan. Selama ini tidak pernah menteri menjadi tersangka sebagai hasil kerja kepolisian atau kejaksaan. Sebagai institusi, memang KPK dibiarkan bekerja sendirian.

Pertanyaan krusial yang harus dijawab oleh Presiden kini adalah hendak dibawa ke mana politik hukum di Indonesia? Apa yang akan terjadi dengan bangunan republik ini apabila calon Kapolri berstatus tersangka? Pendidikan politik macam apa yang akan diberikan Presiden pilihan rakyat? Pragmatisme politik terbentang lebar di depan Presiden.

Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011422179  

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger