Namun, upaya pemberantasannya harus dilandasi peta pengetahuan yang mendasar tentang pengedaran narkoba dan berbagai persoalan terkait. Tanpa penanganan yang komprehensif, hukuman mati tidak akan berefek maksimal terhadap pemberantasan narkoba.
Di antara mereka yang dihukum mati karena kasus narkoba adalah para perempuan. Penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender ( PKWJ) Universitas Indonesia yang mengambil lokasi di Lapas Wanita Tangerang menunjukkan bahwa di antara mereka adalah perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia. Ditemukan adanya indikasi perdagangan manusia (perempuan) dalam peredaran narkoba, yang menjadikan perempuan sebagai kurir narkoba, bahkan dilibatkan dalam sindikat internasional.
Atribut perdagangan manusia di antaranya adalah rekrutmen (dengan cara mengelabui), migrasi (pemindahan), motivasi keuntungan, unsur kekerasan, serta penempatan korban dalam pekerjaan yang membahayakan dan merendahkan dirinya, seperti pelacur, pekerja paksa, pengemis, pengedar narkotika, dan diambil organ tubuhnya. Migrasi dilakukan untuk tujuan mengisolasi perempuan dari bahasa dan budaya asing setempat serta sukar mengakses komunikasi atau kemungkinan bantuan dari pihak lain. Dalam fenomena pengedaran narkoba, ciri-ciri perdagangan manusia itu dapat dikenali.
Dalam perdagangan manusia yang menjadikan perempuan sebagai kurir narkoba, sungguh pun terdapat unsur
Bagaimana cara perekrutan perempuan? Di antaranya adalah menjadikan mereka pacar, wanita simpanan, atau istri. Pelaku di antaranya adalah laki-laki asing. Setelah ada relasi, mereka dipaksa dan mengalami kekerasan untuk menjadi kurir narkoba, bahkan dilibatkan dalam sindikat internasional. Hubungan tersebut bisa diperluas, perempuan kekasih atau istri merekrut perempuan lain dari kerabat atau teman. Para perempuan ini berasal dari negara dunia ketiga, seperti Indonesia, Thailand, dan Myanmar, dan mendekam di Lapas Wanita Tangerang. Mereka adalah perempuan baik-baik, perempuan muda, atau ibu rumah tangga dengan profil beragam.
Ada janda miskin, orangtua tunggal dengan dua anak , dan berjualan sayur di suatu kampung di Thailand, bersedia menelan 45 butir narkoba karena dijanjikan uang untuk membayar sekolah anaknya. Ada perempuan muda Myanmar yang dikelabui suaminya dan terjerat dalam perdagangan manusia.
Ada pula perempuan Indonesia yang dipaksa suaminya berkebangsaan asing mengedarkan narkoba ke luar negeri dan dipukuli jika menolak. Ada perempuan yang ayahnya terbelit utang dan rumah mereka terancam disita, ia direkrut oleh saudara perempuannya menjadi kurir dan dijanjikan bisa mempertahankan rumah ayahnya.
Hukum acara pidana mewajibkan mereka yang terancam hukuman di atas 5 tahun penjara untuk didampingi pengacara yang mengerti bahasa dan seluruh proses persidangan. Perempuan asing yang tertangkap kasus narkoba itu memang didampingi pengacara, tetapi pengacara negara (pro-bono) yang tidak sepenuhnya bisa berkomunikasi baik, tidak mengerti bahasa Indonesia, dan tidak mengerti jalannya persidangan.
Bahkan, ketika hakim mengetuk palu menjatuhkan hukuman mati, ia tidak paham dan baru tahu setelah dijenguk oleh per- wakilan negaranya. Ada yang baru menyadari bahwa fakta terhadapnya selama proses persidangan tidak benar setelah dia belajar bahasa Indonesia selama di penjara. Pertanyaan feminis terhadap hukum/proses persidangan adalah, apakah pengalaman dan realitas perempuan diperhitungkan oleh hukum?
Dalam logika hukum, tugas hakim adalah "mencari kecocokan" antara berita acara polisi, barang bukti, tuduhan jaksa, dan pasal undang-undang yang dikenakan. Jika semua unsur terpenuhi, secara prosedural sudah benar.
Apalagi, paradigma hakim sebagai "corong undang-undang" masih sangat kuat, apakah si pelaku adalah produsen, bandar besar, kurir, pengguna, perempuan atau laki-laki, tidak penting. Dengan ketiadaan perspektif perempuan, memang tidak akan tampak adanya relasi kuasa dalam jalinan aktor pengedaran narkoba. Tidak tampak adanya indikasi perdagangan perempuan. Hal yang tampak justru adanya unsur
Tulisan ini tidak bermaksud menggugat hukum dan proses persidangan, tetapi hanya ingin menggambarkan pengalaman dan realitas kemanusiaan para perempuan yang terjerat kasus narkoba dengan akibat yang paling fatal. Para pengambil kebijakan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) harus paham bagaimana narkoba sudah begitu masif memasuki ranah keseharian para perempuan.
Pencegahannya harus sangat komprehensif dan tepat. Beberapa hal dapat diusulkan.
Pertama, berantas kemiskinan karena sebagian besar orang miskin adalah perempuan, berstatus sebagai orangtua tunggal, berpendidikan rendah, tidak memiliki pengetahuan hukum, dan mudah terjebak pengedaran narkoba.
Kedua, sosialisasi di kalangan keluarga agar anak perempuan mereka tidak terjerat dalam perekrutan perdagangan manusia, yang menjadikan mereka sebagai kurir narkoba.
Ketiga, penegak hukum harus bersih dari korupsi karena sukarnya pemberantasan narkoba berpangkal pada korupsi.
Keempat,
Kelima,
Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum UI dan Ketua Program Pascasarjana UI
terima kasih banyak Bu, saya menyimpan tulisan Anda
BalasHapusTerimakasih mas, sudah menyimpan tulisan-tulisan saya. Salam, Sulis Irianto
BalasHapus