Tren pemulihan yang lebih cepat dari perkiraan sudah terlihat beberapa kuartal terakhir. Ekonomi AS juga terbantu oleh turunnya harga minyak dunia dan menguatnya dollar AS. IMF dan Bank dunia sudah merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan AS 2015 menjadi 3,6 persen.

Sayangnya, revisi pertumbuhan ini dibarengi peringatan untuk jangan terlalu berharap pemulihan ekonomi AS akan mampu mengangkat perekonomian global, terutama dengan pelambatan pertumbuhan di Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa. Tiongkok diperkirakan tumbuh di bawah 7 persen. Jepang memasuki resesi kuartal III-2014. Zona euro juga belum pulih. Proyeksi IMF justru memprediksikan pelambatan pertumbuhan global 2015 dan 2016 di sebagian besar negara akibat melambatnya investasi.

Perekonomian emerging markets juga tak luput dari dampak pelambatan ini. Bagi banyak negara, pemulihan AS ibarat pisau bermata dua, yang bisa mengancam prospek pemulihan global karena pengetatan moneter oleh The Fed bisa mengancam stabilitas finansial negara berkembang. Sejalan dengan membaiknya ekonomi dan naiknya suku bunga di AS, dana global di negara berkembang sebagian besar juga akan tersedot kembali ke AS.

Dengan demikian, kita akan dihadapkan bukan saja pada tekanan eksternal dari sisi perdagangan, tetapi juga risiko investasi dan nilai tukar. Indonesia salah satu yang mengalami arus modal keluar, sementara pada saat yang sama ekspor juga turun akibat menurunnya permintaan dan menurunnya harga komoditas di pasar global.

Dengan prospek global belum sepenuhnya kondusif, stimulus fiskal/moneter dan reformasi struktural menjadi kata kunci untuk menggenjot pertumbuhan. Termasuk di sini sejauh mana kita mampu mengambil peluang dari momentum turunnya harga minyak. Dengan harga minyak di bawah 50 dollar AS per barrel, kini tersedia ruang fiskal sangat besar untuk menggenjot proyek infrastruktur.

Langkah antisipasi untuk meredam potensi gejolak finansial akibat external shock terkait perubahan kebijakan moneter di AS juga mendesak dilakukan. Termasuk di sini, antisipasi tekanan nilai tukar dan utang valas swasta jatuh tempo dalam jumlah besar serta upaya mengurangi ketergantungan pada impor dan ekspor komoditas.

Lewat kebijakan pengurangan subsidi yang sudah ditempuh Jokowi-JK dan sejumlah kebijakan agresif di sektor pertanian, kelautan dan infrastruktur, kesehatan dan juga pendidikan, Indonesia relatif dalam posisi lebih baik menghadapi kemungkinan risiko perekonomian global meluncur ke arah yang tidak diharapkan.

Jika dibarengi langkah simultan mengatasi kendala investasi, hal ini bisa membuat Indonesia tetap jadi magnet investor di tengah kekhawatiran besar negara berkembang akan hengkangnya dana global dari negara mereka.

Sumber: ‎http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011555621