Kepala Lembaga Pendidikan Polri Budi Gunawan diusulkan oleh Presiden Joko Widodo menggantikan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman. Sehari menjelang dilakukan uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR, KPK menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus korupsi.

Penetapan Budi sebagai tersangka memicu reaksi berbagai kalangan. Presiden Jokowi diharapkan menganulir pencalonan Budi karena dia berstatus tersangka. Namun, langkah itu tak diambil Presiden. Presiden membiarkan proses politik DPR berjalan. Baru pertama kalinya dalam sejarah, DPR secara aklamasi menyetujui seseorang dengan status tersangka sebagai calon Kepala Polri.

Jalan tengah diambil Presiden Jokowi dengan menunda pelantikan Budi dan menunjuk Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti yang menjalankan tugas dan kewenangan Kepala Polri. Namun, tekanan kepada Presiden untuk melantik Budi sebagai Kepala Polri atau membatalkan pencalonan Budi sebagai Kepala Polri selalu muncul ke permukaan.

Kita memandang dalam situasi penuh ketidakpastian, kenegarawanan Presiden amat diuji. Presiden harus mencegah terjadinya konflik institusi yang justru bisa melemahkan semangat pemberantasan korupsi dan menguntungkan koruptor. Jalur hukum harus dihormati, tak perlu dicampur aduk dengan langkah politik. Kita apresiasi langkah Budi menguji penetapan tersangka melalui jalur praperadilan. Biarlah hakim memutuskannya. Penegakan hukum harus betul-betul dilepaskan dari manuver dan kepentingan politik yang justru dimaksudkan mendelegitimasi lembaga negara. Apa yang dituduhkan KPK terhadap Budi bukanlah tuduhan terhadap institusi.

Presiden Jokowi, Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti, seharusnya mendorong anggota Polri yang dipanggil sebagai saksi untuk memenuhi panggilan KPK agar masalah ini bisa segera selesai. Tuduhan PDI-P, bahwa ada pimpinan KPK melanggar etika, biarlah diselesaikan melalui mekanisme internal KPK, tetapi tidak boleh mengganggu penyidikan terhadap Budi.

Selain hukum, semua pihak hendaknya berpegang pada semangat bangsa pasca reformasi yang tecermin dalam Tap MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya mengenai etika politik dan pemerintahan. Dalam bagian itu, disebutkan bahwa setiap pejabat dan elite politik dituntut jujur, sportif, berjiwa besar, memiliki keteladanan, dan siap mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semangat dari Tap MPR itu telah diadopsi!

Presiden Jokowi seharusnya lebih maju!