dari unsur partai koalisi pendukung pengajuan Jokowi
sebagai calon presiden 2014.
Satu orang dari PPP yang belakangan juga masuk gerbong partai koalisi pemerintah. Dua orang mewakili dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Anggota terakhir diambil dari kalangan akademisi.
Berdasarkan komposisi keanggotaan, banyak yang menilai, pemilihan penasihat kepala negara itu jadi ajang bagi-bagi kue kekuasaan. Tak ubahnya pemilihan menteri, Jaksa Agung, dan kepala Polri—selama ini.
Konstitusi pasca amandemen mengatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sebagai sebuah dewan yang memiliki
dua tugas: memberikan nasihat dan memberikan pertimbangan kepada presiden. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memerintahkan tafsir atas dua tugas tersebut ke dalam UU. Terbitlah UU No 19/2006.
Tak semua orang dapat diangkat sebagai anggota Wantimpres. Salah satu syarat yang termuat dalam Pasal 8 UU No 19/2006, si calon anggota harus mempunyai sifat kenegarawanan. Penjelasan norma sifat kenegarawanan adalah, "bersikap konsisten mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongan." Pasal 8 huruf d ini sebenarnya merupakan rumusan pembatas agar calon anggota Wantimpres tidak diambil dari unsur parpol.
Wantimpres, apabila merujuk sejarah ketatanegaraan Indonesia, terlebih pasca Orde Lama dan pra-Orde Reformasi, sebenarnya mirip—meski tak sama persis—dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dalam konstitusi pra amandemen, DPA diberi kewajiban menjawab pertanyaan presiden dan juga diberi hak untuk mengajukan usul kepada pemerintah. Bedanya, DPA adalah lembaga sejajar dengan presiden, sedangkan Wantimpres berada di bawah presiden.
Dalam hal komposisi anggota DPA, UU No 3/1967 dan UU No 4/1978 menyatakan, susunan anggota DPA terdiri dari tokoh politik, tokoh karya, tokoh daerah, dan tokoh nasional.
Implikasi yang dihasilkan dari norma mengenai komposisi anggota DPA—khususnya tokoh politik dan tokoh karya—tampaknya dipakai oleh rezim saat itu demi mengamankan kekuasaannya.
Pola pemilihan dari unsur tokoh politik dan tokoh karya itulah yang ingin digeser dengan diberlakukannya UU No 19/2006. Diharapkan, tak ada lagi penasihat presiden yang berasal
dari unsur parpol. Maka, guna mencegah agar anasir partai tidak masuk ke Wantimpres, syarat adanya sifat kenegarawanan dimunculkan. Penasihat presiden harus konsisten mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
Lalu, kenapa Presiden Jokowi melantik anggota Wantimpres yang 50 persen lebih berasal dari parpol? Bagaimana menjamin anggota Wantimpres agar memberi nasihat dan memberi pertimbangan kepada presiden berlandaskan kepentingan rakyat (negara dan umum) daripada kepentingan parpol (ketua umum partai, elite partai, atau parpol itu sendiri)?
Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Anggota Wantimpres sudah dilantik. UU No 19/2006—yang menjadi amanat dari Pasal 16 UUD NRI 1945— memerintahkan, Wantimpres harus dilantik paling lama tiga bulan sejak presiden dilantik. Artinya, presiden tak punya banyak waktu untuk menentukan sembilan orang dari ratusan juta penduduk Indonesia yang dianggap memiliki sifat kenegarawanan sebagai penasihatnya di tengah penataan struktur pemerintahannya.
Namun, bukan berarti singkatnya masa dijadikan sebagai pleidoi
Sebenarnya, penjelasan pasal 16 konstitusi Indonesia pra amandemen menggambarkan DPA layaknya
Meski tugas Wantimpres tak persis dengan
Selain mengatur batas maksimal pelantikan anggota Wantimpres, berita baiknya adalah, hukum juga mengatur mekanisme pemecatan anggota Wantimpres. Pasal 11 UU No 19/2006 menggariskan, penasihat presiden diberhentikan apabila tidak memenuhi persyaratan dalam pasal 8. Salah satu isi pasal 8 adalah sifat kenegarawanan. Jika sedikit saja anggota Wantimpres terbukti bekerja untuk kepentingan partai, bukan untuk presiden dan rakyat, presiden wajib memberhentikannya. Dan, pada tahap ini tak boleh ada istilah penundaan pemberhentian.
Peneliti di PUKAT FH UGM dan FSH UIN Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar