Kebijakan—tentang pendelegasian wewenang pemberian perizinan serta non-perizinan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dalam rangka pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)—ini dinilai akan mengabaikan pertimbangan lingkungan. Investasi membaik dengan konsekuensi lingkungan semakin rusak.
Jika ditelusuri secara cermat dan mendalam, sesungguhnya apa penyebab perizinan kita lambat selama ini? Apakah sistem perizinan atau pejabat yang berwenang yang tak serius?
Selama ini, untuk dapat izin angkutan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), misalnya, kita harus mengurus rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), kemudian kita mengurus izin pengangkutan dari Kementerian Perhubungan. Kemenhub hanya menyalin sesuai rekomendasi KLH. Prosesnya sangat cepat, bergantung pada "hubungan" baik pengusaha dengan KLH dan Kemenhub.
"Hubungan" dimaksud dapat berupa uang sogok. Hal itu telah menjadi pengetahuan umum di kalangan pengusaha pengelola limbah B3. Pejabat KLH hadir pada verifikasi lapangan untuk menilai kelayakan kendaraan. Pada saat verifikasi lapangan inilah terjadi proses sogok-menyogok. Berbagai proses perizinan modusnya mirip seperti itu.
Lambatnya perizinan di KLH selama ini bukan pada sistem, melainkan pada pejabatnya. Lalu, jika kendala pada orangnya, mengapa sistem yang diubah? Lagi pula, pendelegasian izin lingkungan itu ke BKPM akan menimbulkan beberapa risiko.
Pertama, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan, pejabatnya akan ditempatkan di BKPM. Jika pejabat LHK yang ditempatkan di BKPM menolak dokumen lingkungan karena alasan risiko lingkungan, apakah BKPM tidak menerbitkan izin karena risiko lingkungan sementara kepentingan BKPM memperjuangkan meningkatnya investasi? Kepentingan LHK sangat berbeda dengan BKPM. Apalagi, pejabat LHK selama ini diragukan integritasnya soal keberpihakannya pada lingkungan. Hampir tidak ada harapan pejabat yang dulunya di KLH berjuang di BKPM untuk menyelamatkan lingkungan.
Kedua, jika kelak ada kasus lingkungan yang izinnya diterbitkan BKPM, siapa yang akan mencabutnya? Kewenangan memberikan hukuman jadi kabur. Akibat kekaburan ini, Kementerian LHK hanya memberikan rekomendasi kepada BKPM. Apakah selama ini rekomendasi KLH pernah dieksekusi institusi yang berwenang? Apakah rekomendasi Kementerian LHK berfungsi? Pola pengelolaan lingkungan semacam ini akan membahayakan masa depan lingkungan.
Tarik-menarik kepentingan investasi BKPM dengan Kementerian LHK akan berkelanjutan. Itu pun jika Kementerian LHK tahu diri bahwa tugasnya mengendalikan lingkungan. Jika paradigma Kementerian LHK juga mempercepat investasi demi pertumbuhan ekonomi, sempurnalah kerusakan lingkungan kita.
Ketiga, fungsi pengendalian pembangunan akan mati total karena proses pembangunan jadi tanpa kendali. Bahkan, pengendali ikut mendorong percepatan investasi. Izin lingkungan seharusnya dikendalikan Kementerian LHK sebagai wasit. Ketika kewenangan itu diberikan kepada BKPM, berarti wasit ikut bermain untuk mempercepat ambisi investor. Apa pun argumentasinya, fungsi Kementerian LHK dalam konteks pembangunan adalah wasit. Terlibatnya wasit dalam mempercepat investasi juga menambah kesempurnaan kerusakan lingkungan kita.
Lahirnya Permen No 97/2014 menunjukkan bahwa pemahaman Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar tidak mendalam tentang pembangunan berkelanjutan. Kita lihat, misalnya, kalimat tentang pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan non- perizinan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Seolah- olah bidang lingkungan hidup sama atau sejajar dengan kehutanan. Padahal, lingkungan itu adalah bagian dari seluruh aspek kehidupan. Pemaknaan ini sangat berdampak pada sistem tata kelola sumber daya alam kita.
Salah satu dampak pemaknaan ini adalah pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla mengabaikan fungsi KLH dalam UU No 32/2009 sebagai pengawas atau pengendalian pembangunan atau disebut UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. UU ini sejatinya sebagai wasit bagi semua kementerian dan lembaga di negeri ini. Fungsi kendali itu dipegang KLH. Kini, apa daya, KLH digabung dengan Kementerian Kehutanan yang berbeda fungsi dan kewenangan. Jika fungsi wasit diberikan kepada pemain/pelaku investasi demi pertumbuhan, risiko kerusakan lingkungan akan kita tanggung bersama.
Praktisi Lingkungan; Alumnus Pascasarjana Bidang Pengelolaan SDA dan Lingkungan IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar