Dalam segala perwujudannya, misalnya kisah "pohon Taman Eden" yang dianut kepercayaan monoteisme, kisah "pohon dunia" yang dianut kepercayaan suku Olmec di Meksiko, tradisi Tao di Tiongkok, dan kisah "pohon abstraksi intelektual" yang dianut kepercayaan Kaballah-Pohon Kehidupan penuh simbolisme.
Ini menyinggung interkoneksi dari semua kehidupan dan berfungsi sebagai metafora untuk keturunan, keberlangsungan, dan ketahanan bersama.
Di Indonesia, mitologi Pohon Kehidupan berawal dari 3.000 tahun SM, di mana di Sumatera, sebuah mitos penciptaan bercerita tentang sebuah pohon kuno yang tumbuh dari dunia bawah menuju langit dan kemudian hancur berkeping-keping. Sewaktu pecahan-pecahannya jatuh ke bumi, mereka membentuk sawah, kerbau, orang-orang pertama.
Akan tetapi, di luar simbolisme, tak ada yang bicara ikatan abadi antara manusia dan pohon lebih dari Pulau Roti di Indonesia, di mana dari buaian hingga ke liang kubur, pohon palem lontar, salah satu palem penghasil gula paling efektif di dunia, merupakan penyambung kehidupan bagi masyarakat adat pulau itu.
Sari berharga palem ini, yang disebut tuak manis, adalah makanan pertama bayi sebelum ASI. Dua atau tiga pohon cukup untuk mendukung satu keluarga—setiap pohon menghasilkan 200-400 liter sari setiap tahun selama 35 tahun. Barang sehari-hari—tikar, nampan untuk menampi beras, atap jerami, alat musik, kipas, payung, sabuk, selubung pisau, dan bahkan tas untuk mengangkut ayam ke pasar—terbuat dari palem. Ketika orangtua meninggal, dia akan dikuburkan dalam sebuah peti mati yang terbuat dari kayunya.
Sangat menyedihkan melihat Indonesia, salah satu tempat dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, memiliki tingkat deforestasi dan degradasi hutan cukup tinggi, terutama akibat pertanian berskala besar dan kecil, dan pembangunan infrastruktur seperti jalan. Dampaknya memiliki jangkauan jauh dalam hal waktu dan fisik. Pembukaan lahan gambut, membuatnya rentan terhadap api, dengan konsekuensi signifikan bagi emisi gas rumah kaca, kesehatan masyarakat, produktivitas ekonomi.
Setiap tahun, sekitar 13 juta hektar hutan dihancurkan di seluruh dunia, setara dengan kehilangan pohon-pohon seluas 25 lapangan sepak bola setiap menit. Hal ini disebabkan oleh perkembangan pesat lahan pertanian, perkebunan, padang rumput, pembangunan infrastruktur, penebangan liar, dan kebakaran.
Seperempat hutan Paraguay, telah dibuka sejak 1990, sebagian besar untuk menanam kacang kedelai dan menyediakan padang rumput bagi industri peternakan negara ini–dua penggerak ekonomi terbesarnya. Di Nigeria, lebih dari setengah tutupan hutan hilang sejak 1990, membuka jalan tak hanya untuk perluasan pertanian, tetapi juga proyek pertanian, minyak, dan gas. Hutan juga terdegradasi melalui produksi dan konsumsi bahan bakar kayu yang tak berkelanjutan; sumber utama bahan bakar bagi dua pertiga penduduknya.
Kehancuran ini berdampak lingkungan hidup dan sosial jangka panjang. Ini sering memisahkan masyarakat adat dari hutan yang menafkahi mereka dengan mata pencarian mereka serta merampas habitat spesies yang terancam punah di tanah, dan bahkan di udara, misalnya hutan menyediakan habitat bagi lebih dari tiga perempat spesies burung yang terancam punah.
Hutan juga menyediakan makanan, obat-obatan, dan produk penting lain bagi penduduk, serta jasa penting, seperti menyaring air tawar yang terkumpul dan mengalir ke hilir, agar populasi perkotaan mendapatkan air bersih untuk diminum. Bahkan, 33 kota terbesar di dunia memperoleh air bersih langsung dari hamparan hutan yang terlindungi. Secara global, hutan berkontribusi untuk mata pencarian 1,6 miliar orang. Sebuah proyek penilaian ekosistem di Indonesia, yang didukung UNEP, berusaha mengidentifikasi dan menyoroti nilai ekonomi yang diberikan hutan untuk masyarakat miskin pedesaan. Di sebuah proyek perintis di Kalimantan Tengah, desa-desa di dalam hutan bergantung pada jasa ekosistem untuk 77,41 persen dari total pendapatan mereka.
Emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan juga kontributor besar pemanasan global dan emisi gas rumah kaca. Indonesia, Paraguay, dan Nigeria melihat inisiatif internasional Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) bisa membantu mempertahankan sisa pohon mereka. REDD+ merupakan sebuah upaya internasional untuk menciptakan nilai keuangan untuk karbon yang tersimpan di hutan, menawarkan insentif kepada negara berkembang untuk menurunkan emisi dari kegiatan di lahan berhutan dan berinvestasi dalam praktik pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan adalah kunci bagi REDD+, negara-negara mengeksplorasi bagaimana hutan dapat dilindungi, bahkan dipulihkan, sementara masih menyediakan mata pencarian dan rezeki bagi orang yang bergantung padanya.
REDD+ membantu meningkatkan nilai pohon di mata pemerintah pusat dan daerah serta pemangku kepentingan lain di sektor swasta dan publik. Dalam memetakan tindakan REDD+ dapat di mana berkontribusi untuk mengentaskan orang dari kemiskinan dan ketidaksetaraan, serta mendukung budaya yang bergantung pada hutan dan masyarakat adat, REDD+ memberdayakan kementerian lingkungan hidup, masyarakat, dan yang lainnya dalam perencanaan tata guna lahan.
Visi Indonesia untuk REDD+ dijelaskan oleh pemerintah sebagai
Ekowisata merupakan segmen ekonomi pusat dan daerah yang berkembang di banyak negara tropis. Secara global, ekowisata bernilai 77 miliar dollar AS per tahun menghadirkan kekayaan pengalaman tak tertandingi.
Pelaksanaan REDD+ dan peluncuran pasar untuk kredit karbon yang mendukung nilai baru hutan dunia—dan ekonomi hijau yang makmur di hutan-hutan ini —jadi topik utama selama perjalanan menuju COP 21, yang berlangsung Desember 2015 di Paris. Taruhannya semakin tinggi. Ilmuwan mencapai konsensus yang gagal mencapai kesepakatan—tak hanya tentang REDD+, tetapi juga tentang peta jalan yang komprehensif untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim—yang akan membahayakan kesejahteraan dan kehidupan generasi mendatang. Sebanyak 56 negara yang terlibat dalam UN-REDD Programme—termasuk Indonesia, Paraguay dan Nigeria—melihat ke REDD+ untuk menghentikan tren ini, membantu orang-orang yang bergantung pada hutan, mengurangi dampak perubahan iklim yang mengancam kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar