NAHDLATUL Ulama melakukan peringatan hari lahir ke-89 sekaligus peluncuran muktamar ke-33 (Sabtu, 31/1), yang dihadiri Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah anggota kabinet yang adalah warga NU.
Dalam sambutannya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj mengingatkan tentang amar agama dan nasional, yang meneguhkan keniscayaan dan membuktikan Islam yang ramah. Sementara Jusuf Kalla dalam sambutannya menyebutkan, NU memiliki tantangan kebangsaan dan radikalisme. Tantangan terbesar yang paling mendasar adalah kemiskinan umat dan tantangan yang lain adanya sikap radikalisme yang membuat Islam tercoreng (
Ada kata kunci yang selalu terulang dalam sambutan Wakil Presiden, yaitu umat yang dirujukkan pada pengikut NU. Umat sejatinya memiliki arti "warga". Umat inilah sesungguhnya yang jadi misi pokok kenabian: membangun keutamaan warga negara. Umat sebagai simpul komunitas yang memiliki kesadaran terhadap hak dan kawajiban, pada gilirannya bergerak bersama-sama mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan. Umat berkewajiban memberikan kepastian keberagamaan yang damai.
Dalam tubuh umat inheren di dalamnya sebuah sikap politik untuk merawat pengalaman kemajemukan, menjunjung tinggi multikulturalisme, bersikap transparan dan akuntabel. Umat seperti inilah yang hari ini disebut sebagai modal kultural untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.
Dalam diksi umat, "identitas" (politik, agama, etnik dan hal lainnya) dimaknai bukan sebagai alasan untuk menafikan liyan, melainkan justru liyan dianggap sebagai pancaran ilahiah dan realitas sosial yang keberadaannya mustahil ditampik. "Orang lain" jadi modus eksistensial kehadiran kita. Dalam umat, etos sosial yang dibangun bukan "keakuan-egoistik", tetapi semangat kekitaan, semangat kebangsaan. Bukan individualitas, tetapi kolektivitas bahkan kohesivitas. Dalam diksi NU dirumuskan dalam
Umat pada gilirannya akan tampil menjadi subyek merdeka yang bisa merumuskan negara. Bukan sebaliknya, negara yang mendefinisikan umat, seperti dalam pengalaman politik gelap Orde Baru. Bagaimana negara despotik itu tidak pernah berhenti membuat sebuah kerangka acuan serba tunggal.
Pancasila dimonopoli penafsirannya, kekuasaan didistribusikan kepada kroninya, politik dipasung sesuai nafsunya, ekonomi dibiarkan menetes ke bawah dan sisanya yang terbesar dikelola segelintir orang (oligarki). Agama pun dikerdilkan hanya semata sebagai kumpulan fatwa untuk mendukung pembangunan, sementara sumber daya manusia ditarik dalam pemaknaan "manusia seutuhnya" yang digembar-gemborkan secara serampangan.
Negara Orde Baru dalam konteks kebangsaan menjadi contoh telanjang bagaimana kekuasaan tampil dengan wajahnya yang pandir. Anehnya, politik kepandiran ini dimobilisasi, dilipatgandakan sangat sempurna dengan mengoperasikan semua kekuatan yang dimiliki, baik secara fisik maupun simbolik.
Umat
Kedua,
Misi kaum pergerakan sesungguhnya bukan saja membentuk "negara" yang terlepas dari sekapan kaum kolonial, lebih dari itu adalah memerdekakan segenap rakyat semerdeka-merdekanya. Rakyat di sini tak lain adalah lapisan terbesar warga yang didefinisikan Bung Karno sebagai marhaen, murba (Tan Malaka), atau masyarakat terdidik dalam istilah Syahrir dan Hatta.
Maka, tidaklah keliru kalau negeri kepulauan ini kerangka negaranya bukan imamah, kesultanan, khilafah atau kembali pada zaman format kerajaan prakolonial dan atau negara teokrasi seperti sering difantasikan para pegiat politik keagamaan, tetapi republik. Republik lengkap dengan Pancasila-nya jadi kesepakatan kaum leluhur dalam sebuah persidangan sengit di Gedung Konstituante. Para pendiri bangsa, seperti tecermin dari risalah BPUPKI, dengan elok menempuh rute politik inklusif dan lebih mementingkan kebersamaan ketimbang sentimen sempit golongan, baik yang dijangkarkan pada isu agama maupun etnik.
Sidang Konstituante pada tahun-tahun itu seperti jadi tamparan keras kepada elite politik bangsa hari ini yang sering kali justru mendiskusikan persoalan bangsa nyaris tanpa landasan etik dan visi yang jelas. Bahkan, tidak sedikit anak bangsa yang baru lahir kemarin sore sudah tampil petantang-petenteng menolak Pancasila seraya menawarkan ideologi politik arkaik, ahistorik, dan selebihnya hanya berisi jualan dongeng penuh karatan. Padahal, tempo hari, pada 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan resolusi jihad bahwa mempertahankan republik dari kaum kolonial adalah
Re-publik: memosisikan publik sebagai tempat kembali seluruh kebijakan yang diambil pemerintah(an). Hatta dalam
Publik sebagai subyek utama pemilik sah negeri ini. Republikanisme seperti dalam telaah Robertus Robet, selalu memosisikan kepentingan publik sebagai sesuatu yang semestinya didahulukan dibanding kepentingan partikular kekuasaan, "… pendirian dan garis Republikanisme Hatta sangat dibutuhkan tidak saja demi mengisi kekosongan etika politik dan kenegaraan sekarang ini, secara lebih praktis justru dalam keperluan menghindarkan kita dari keberulangan tragedi demi tragedi" (2007).
Republik menempatkan kemaslahatan umum sebagai tujuan bernegara. Repubik tanpa kemaslahatan warganya bukan hanya keliru, juga kontradiksi dengan term yang melekat di dalamnya. Kontradiksi inilah yang dialami bangsa kita hampir selama 68 tahun. Sebagaimana dibilang Bung Karno, ada banyak negara republik yang tidak konsisten dengan makna
Kembali ke publik menjadi keniscayaan agar kemudian bangsa ini lekas menemukan adabnya. Kesejahteraan cepat menjadi bagian tidak terpisahkan dari batang tubuh negeri kepulauan ini. Bagi saya, Harlah Ke-89 dan Mukmatar Ke-33 NU harus diposisikan dalam konteks semangat kewargaan seperti ini. NU bergerak dalam politik keumatan dan kebangsaan yang moderat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar